Namanya Aini Chandra, seorang gadis penulis. Bukan penulis terkenal alias femes. Hanya seorang penulis kecil-kecilan yang berangkat dari hobi saja, belum jadi penulis pro yang berangkat dari bangku pendidikan tinggi semacam ahli bahasa, apalagi S2.
Sewaktu masih belia, Aini dulu ingin menjadi wartawan, reporter atau jurnalis. Tidak tanggung-tanggung, ingin meliput berita kriminal! Sayang, kedua orang tua Aini yang pedagang toko kelontong besar di bilangan Glodok, Jakarta Barat, langsung menentangnya.
"Jangan, Aini! Profesi yang sangat berbahaya!" Orang tua Aini yang lahir dan dibesarkan pada zaman 'Orde Dahulu' sangat tahu jika risiko jadi kuli tinta sangat besar.
"Baik, Papa, Mama. Aini akan kuliah dulu saja. Aini tetap akan menulis walaupun tidak jadi wartawan."
"Baiklah, akan tetapi hati-hati. Mama tahu kamu suka membaca seperti Mama, dan juga hobi menulis. Mama dan papa harap Aini bisa melakukan apa saja yang Aini suka dengan hati. Kami akan selalu mendoakan Aini."
"Terima kasih, Mama."
Profesi-profesi lainnya yang Aini impikan misalnya jadi dokter hewan pun akhirnya Aini terpaksa urungkan. Ia tak tega melihat hewan peliharaan mati, apalagi jika kelak ada pasien yang 'harus mati' di tangannya.
Hanya ada satu pekerjaan sambilan Aini saat ini. Menulis. Sebenarnya Aini belum jadi penulis profesional. Hanya seorang penulis fiksi dan artikel lepas di sela-sela kuliahnya.
Aini merintis jalan dengan susah payah. Kedua orang tuanya belum juga memberi restu penuh pada bakat dan minat putri tunggal mereka ini. Mereka tahu Aini cerdas, berbakat, sekaligus memiliki keunikan.
Walau wajah Aini belum populer, perlahan Aini mendapat beberapa pembaca tetap dan penggemar. Tak seperti penulis lain yang kejar target, Aini tidak pernah memaksakan diri untuk menulis. Aini selalu menulis dengan hati, sesuatu yang sesama rekan penulis di dunia maya zaman now sering anggap kurang penting. Seperti halnya persaingan di dunia kerja lainnya, tidak semua kenalan yang serumpun, seminat dan sehobi memiliki visi dan misi yang sama.