Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Dianggap Toksik dan Dijauhi, Risiko Jadi Penulis!

19 Januari 2023   08:24 Diperbarui: 19 Januari 2023   09:01 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedikit curhat sebagai intro. Belum lama ini saya ditendang (di-kick) dari sebuah grup menulis. Jujur saja, saya memang sudah lama ingin keluar sendiri dari sana. Hanya merasa segan dan sungkan karena saya menganggap beberapa anggota sebagai sahabat.

Barangkali karena opini yang selama ini saya bagikan, di mata beberapa atau hanya satu anggota/admin terasa kurang berkenan. Padahal bukan dibagikan di dalam grup itu, lho. Saya selama ini berprinsip, silakan mampir dan renungkan jika berkenan, silakan dijadikan bahan introspeksi, tidak setuju, tidak sehati, ya rapopo.

Sudah risiko memang, jika penulis tak bisa selalu memihak semuanya alias mencari win-win solution. Di sini senang di sana senang, mungkin begitu istilahnya.

Bahkan ketika kita sudah mencoba menegur, memberi masukan dan saran yang kita anggap baik lewat opini (seperti dalam blog ini, bukan di grup itu), tetap saja kita bisa dianggap toksik.

Jika pernah mengalami, atau mungkin malah kita yang merasa tersentil dengan tulisan seorang penulis, mari kita introspeksi diri.

1. Jadi penulis memang susah-susah mudah, mudah-mudah susah. Tak semua orang akan memihak kita, dan itu sudah risiko.

2. Walaupun kita dianggap toksik, mari kita jadi obat yang pahit tapi menyembuhkan. Lebih baik jika kita menjauh dari yang manis-manis, sedap, nikmat, lezat, namun malah menjadi racun yang sesungguhnya.

3. Dalam menulis fiksi, kita jaga kata-kata. Dalam menulis opini, selama kita tak menyebut nama atau apa saja yang kita tuju, mungkin masih tak apa-apa sedikit lebih jujur dan bebas. Tanpa sebut nama. Tanpa memberi label atau merek. Masih ada netiket, 'toh?

Berikut sebuah perumpamaan. Saya mencium bau (maaf) kentut dalam sebuah ruangan berisi banyak rekan. Lalu saya keceplosan atau spontan bertanya, "Siapa yang kentut?". Permisi tanya, jika ada yang kemudian tersinggung, marah-marah, sudah pasti dia yang kentut, bukan? Lalu, apakah saya salah karena bertanya siapa yang kentut? Apabila saya menunjuk atau menuduh, "Kamu ya, yang kentut!" Nah, itu baru saya salah. Betul atau betul? Silakan dijawab sendiri.

Disukai, disetujui, atau sebaliknya, tetaplah menulis! Selama asli dari hati, jujur, tidak pakai embel-embel tertentu, siapa takut?

Hanya sebuah opini, semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun