Seringkali saya baca postingan di media sosial Facebook, penulis yang berusaha mendapat banyak like dan love dari para pengikut atau daftar pertemanannya berusaha keras menuliskan 'kata-kata indah' di status bahkan dalam karya fiksi.
Berdalih bahwa itu sebentuk karya sastra, kebanyakan mereka berusaha keras menerakan kata-kata yang luar biasa wah, indah-indah. Mungkin dengan tujuan membuat pembaca terkesan, menganggap mereka kaya diksi dan kosakata, menganggap mereka sudah luar biasa berpengalaman dalam dunia kepenulisan.
Tentu saja kata-kata indah itu tidak salah, tak ada masalah, dan boleh kapan saja digunakan. Akan tetapi perlu kita bedakan antara penggunaan sastra dengan nyastra. Di mana 'sih bedanya?
1. Pemahaman secara bebas tentang sastra memang lebih cenderung ke arah karya literasi/literatur khususnya yang memiliki estetika atau keindahan, edukasi, dan nilai seni tinggi.
Karya sastra pada umumnya dianggap memiliki nilai, sejarah serta 'cita rasa' yang tinggi. Akan tetapi jelas beda dengan nyastra. Nyastra di sini saya artikan 'mempergunakan kata-kata/diksi yang terlalu berlebihan'.
Misalnya, kita semua tahu jika mentari/surya adalah sinonim yang lebih terasa 'aroma sastra'-nya daripada matahari. Namun apakah kita bisa menggunakan begitu saja kata 'mentari' atau 'surya' dalam kalimat yang biasanya menggunakan kata 'matahari'? Tentu saja tidak selalu, bukan?
"Matahari bersinar terik." -> "Surya bersinar terik."
Kata surya juga bisa ditemukan dalam kata 'tata surya' dan 'panel surya'. Kedengaran masih oke jika digunakan dalam kalimat narasi di atas, 'sih. Tapi coba jika diganti begini:
"Raja Louis XIV dari Prancis memiliki julukan Raja Matahari." -> "Raja Louis XIV dari Prancis memiliki julukan Raja Surya."
Bagaimana, apakah pernah mendengar kalimat demikian dalam sebuah ensiklopedi atau buku sejarah? Terasa aneh dan janggal, bukan? Jika kita cari di Google Search, tak ada julukan Raja Surya bagi Raja Louis XIV. Jika kita cari Raja Matahari, barulah muncul hasil bahwa itu julukan bagi Raja Louis XIV.