Ketika Ocean benar-benar melaksanakan penyisiran Pulau Vagano secara besar-besaran pada hari itu, seisi Puri Vagano dibuat panik. Terutama, siapa lagi kalau bukan Hannah?
Wanita itu seperti gelisah sepanjang hari ini, yang ditangkap Emily dengan sangat baik dengan sudut matanya. Ia sedari dulu sudah sangat curiga pada gerak-gerik wanita setengah baya yang tak ingin didekati ini. Sejak kedatangannya melalui insiden di laut, tak pernah sedetikpun Hannah bersikap ramah padanya.
Betapa ingin ia curhat pada kedua kembar Vagano itu, terutama kepada Ocean, yang memang menaruh hati padanya dan tentunya akan menganggapnya lebih serius dibanding Sky yang suka bercanda. Tapi melihat Ocean hari itu begitu sibuk, diurungkannya niatnya untuk membahas soal Hannah.
Ocean dalam stelan berburu ala bangsawan tampak sangat tampan berwibawa. Ia bersiap untuk naik kuda memimpin penyisiran di hutan, sementara Sky ditugaskan untuk menyisir perkebunan bersama sebagian pegawai pria yang mereka miliki. Karena mereka tak punya senjata-senjata seperti pada jaman dahulu, kedua kelompok hanya berbekal pentungan kayu. Namun Ocean dan Sky membawa senjata laras panjang, yang sempat membuat Emily bergidik.
Ocean sebelum pergi, berpamitan pada Emily sambil memegang dagunya, "Jangan takut, senjata ini memang ada hanya untuk mengusir atau menakut-nakuti hewan liar saja dan hanya berisi peluru bius. Takkan melukai siapa-siapa. Kau jaga puri saja bersama Hannah."
"O, o, oke... tapi berhati-hatilah!" Emily sebenarnya ingin ikut dan tak ingin berduaan saja bersama Hannah. Ia sangat takut.
"Sebenarnya aku curiga kalau suara itu berasal dari... eh...," Emily hendak mengutarakan kecurigaannya yang sudah memberat dalam dada. Tapi Ocean keburu menaiki kuda putihnya dan berjalan menuju gerbang luar puri menuju ke hutan bersama-sama dengan kelompoknya, pegawai-pegawai yang juga berkuda.
Sementara Emily menunggu di puri, ia bingung sendiri harus berbuat apa. Dilihatnya Hannah mondar-mandir gelisah seperti mencari sesuatu di lemari-lemari, dan bila melewati Emily ia hanya melotot seperti ingin berkata, "Mau apa lihat-lihat?" tapi tanpa suara dan kata-kata.
Ekspresi suramnya saja sudah lebih dari cukup.
Emily hanya bisa duduk sendiri di ruang tamu yang sebesar lobi hotel dengan cemas. Menunggu bersama grandfather clock berukuran super besar yang masih berfungsi baik.
Berdetak-detik seperti detak jantungnya yang seperti hendak meloncat keluar.
"Ocean, aku tak suka perasaan kesepian yang aneh ini. Segeralah kembali kalian berdua." ucapnya dalam hati.
Sementara itu Hannah sibuk mondar-mandir ke beberapa pintu menuju lorong bawah tanah. Sesuatu yang bergemerincingan ia tenteng dengan tangannya yang gemetaran. Sesekali ia naik kembali ke lantai dasar dengan wajah marah.
Apa yang sedang ia coba lakukan?
Menjelang malam, baik Sky maupun Ocean hampir bersamaan kembali ke puri dengan tangan hampa.
"Tak ada apapun yang kami temukan. Aman. Hanya ada satu tempat lagi yang harus kami telusuri. Lorong Bawah Tanah." ucap Ocean dengan tegas.
"JANGAN!" seseorang yang sangat jarang bicara akhirnya bersuara.
"Bibi Hannah?" Ocean dan Sky sama-sama terperangah.
"Jangan pernah dan jangan sekali-sekali kalian berdua pergi ke Lorong Bawah Tanah. Itu tempat maha suci sekaligus terkutuk bagi kalian. Demi keselamatan kalian sendiri. Kumohon." wanita itu berkata dengan suara pelan sedingin es.
Demi keselamatan kalian sendiri.
Tempat maha suci sekaligus terkutuk.
Apa arti semua ini? - Batin Emily.
(Bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI