"Demi apa kita menulis?"
Jawaban setiap kita bisa berbeda. Inilah jawabanku.
Aku menulis demi berkomunikasi. Karena aku jarang bicara (lisan), caraku berhubungan dengan dunia adalah dengan tulisan.
Aku menulis demi mengabadikan kata. Mengapa? Agar kelak jika aku tiada, setidaknya apa yang kukatakan bisa dikenang dan diingat oleh siapa saja yang membacanya.
Bukan hanya untuk anak-anak dan keluargaku saja. Aku sadar, jika kita kelak tiada, tulisan kita akan tetap ada di dunia ini.
Buku, 'jejak tinta' apa saja, real maupun digital, akan ada selamanya. Tak peduli kemudian dihapus atau tak disebarkan kemana-mana, satu benak telah merekamnya.
Semua yang telah tertera pasti terlebih dahulu dibaca penulisnya. Jadi, paling tidak sudah ada yang membaca. Sang penulis.
Karena tulisan ibarat ludah yang sudah dilepehkan tak dapat dijilat kembali, tak ada jaminan jika tak ada yang tak bisa menemukan dan membacanya. Tak peduli jika dikunci dengan koin dan harus dibayar mahal untuk membukanya.
Karena itulah, selalu kuanjurkan agar kita menulis sebaik mungkin, sama seperti kita bicara sebaik mungkin. Jika bicara yang hanya sekali ucap lalu terbawa angin saja (kecuali direkam) harus hati-hati berkata-kata, apa lagi menulis?
Kata-kata adalah doa, kata-kata bukan hanya bisa menghasilkan uang, namun juga bisa menghasilkan entah sesuatu yang positif maupun negatif.
Sungguh rendah jika kata-kata hanya diterakan demi menghasilkan cuan belaka. Kisah dan artikel kita sebetulnya bukan hanya sebuah komoditi perdagangan, tulis, jual, beli, lalu selesai.
Perjalanan kehidupan literatur kita masih sangat panjang. Lihatlah prasasti dan perkamen yang sudah lestari berabad-abad, ukiran berusia ribuan tahun di Mesir dan Mesopotamia yang mengawali zaman sejarah. Relief di candi-candi.
Kita mungkin bisa menyanggah, ah, tulisanku receh, remeh, tidak laku. Pasti yang baca sedikit, tak peduli, tak suka lalu ya sudah.
Tidak demikian, Sahabat. Tulisan kita hingga kapanpun akan dicari, bisa digali dan ditemukan. Ibarat harta karun, buku yang terkubur suatu saat pasti akan ditemukan.
Mari introspeksi diri dan coba renungkan mengapa kita menulis. Demi mendapat pengalaman, demi berbagi, demi menghasilkan dan mengabadikan buah talenta. Apa saja yang tak hanya kita kira akan hilang jadi cuan belaka.
Semoga di tahun 2023 kelak buah-buah talenta kita akan lebih banyak dipetik pembaca dan menjadi berkat. Amin.
Jakarta, 29 Desember 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H