Beberapa hari pun berlalu di Puri Vagano, dan Emily mulai pulih sepenuhnya dan kembali sehat seperti sediakala setelah kejadian tragis yang ia alami di laut. Bahkan ia lupa niatnya mengabarkan kepada keluarga mengenai kabar baik, bahwa ia selamat, tak seperti yang mungkin dunia luar duga. Ia juga lupa menanyakan keberadaan telepon atau sarana komunikasi apapun, bahkan sepertinya enggan pulang. Liburan musim panas masih sangat lama, tak ada salahnya aku tetap berada di sini, mungkin sampai ada kapal logistik datang? Emily mencoba mencari alasan.
Ocean dan Sky Vagano dengan sangat ramah, akrab dan bersahabat selalu mendampinginya kemanapun ia ingin berkeliling. Puri Vagano sangat luas dan besar, seperti benteng atau istana tua di film-film Everopa masa lalu.
Dinding batu pualam dan granit, lapisan karpet merah sepanjang lantai dan koridor, sangat banyak ruangan maha besar dan luas dengan langit-langit tinggi, dihiasi lampu-lampu kristal gantung serta deretan lentera dan tiang lilin seperti dalam film-film kolosal kerajaan. Belum lagi lorong bercabang, berlika-liku dan puluhan atau ratusan pintu tertutup yang entah menuju ruangan apa.
Emily selalu takut nyasar, sebab semua pintu kelihatan hampir sama di matanya, baik yang ganda maupun pintu biasa.
"Di sini sangat banyak rahasia terpendam, jadi jangan pernah bepergian sendiri ke tempat-tempat yang belum pernah kau jelajahi sebelumnya, atau kau akan nyasar selamanya!" canda Sky.
"Duh, tolong jangan bikin aku takut!" Emily selalu terkikih dibuatnya. Sky sangat lucu dan periang. Ia pemuda yang sangat baik hati, terbuka, modern dan juga tak kaku. Tipe cowok masa kini yang sportif dan bersahabat.
Tapi Emily diam-diam sedikit merasakan ada crush dengan Ocean sang kakak yang berbeda beberapa menit lahirnya, si sulung yang lebih serius dan dewasa. Ia sedikit lebih tertutup, namun menyimpan kewibawaan dan aura elegan yang maskulin dan memikat. Rambutnya memang panjang, tetapi sama sekali tak seperti rambut cewek di iklan-iklan shampo. Ia merawatnya dengan baik, juga tubuhnya yang tinggi langsing serta terbentuk dengan sempurna adalah daya tarik tersendiri bagi wanita pada umumnya. Suaranya yang rendah dan ramah juga tipe Emily banget.
Tapi gadis itu masih begitu pemalu. Ia belum pernah punya pacar di kehidupannya selama ini, walaupun ia cukup cantik dan cenderung imut. Di sekolah maupun kuliah, Emily cenderung introvert dan tak menanggapi pemuda yang suka bercakap-cakap dengannya.
Dengan Ocean ia merasa mulai akrab. Tapi mengingat di pulau terpencil ini mereka hanya tinggal berdua sementara ia hanya tamu, dan orang-orang lainnya hanya sekedar pekerja, Emily merasa tak berani melangkah lebih jauh. Ocean yang selalu ramah juga belum menunjukkan kemesraan atau tanda-tanda tertentu. Jadi Emily masih menikmati masa-masa perkenalannya dengan kedua kembar Vagano.
Setiap pagi Emily dan salah satu dari mereka melakukan jogging atau bersepeda menelusuri kebun apel hijau-merah subur yang dibelah jalan setapak untuk mobil, kuda atau kereta barang. Juga gadis itu sudah mencicipi serunya berkuda bersama Ocean menyusuri pantai atau ber-parasailing di pantai bersama Sky di waktu luang. Mereka bertiga benar-benar akrab dan selalu bersenang-senang.
Hanya ada satu orang yang selalu memandang Emily dengan tatapan dingin. Hannah Miles si Kepala Pelayan. Walaupun ia selalu memasakkan makanan yang enak-enak bin lezat untuk kedua tuan mudanya dan juga tamu agung wanita mereka, ia sangat jarang bicara atau mencoba berakrab-akrab sebagai sesama wanita.
Emily sebenarnya turut merasakan ketidaksukaan tanpa alasan itu. Tapi gadis itu tak menggubrisnya. Mungkin memang Hannah sudah begitu lama tak bertemu wanita muda manapun dan juga sedikit iri kepadaku. - begitu kira-kira pendapat Emily.
Emily juga sudah agak lama tak pernah mendengar suara aneh yang mirip raungan atau geraman itu. Ia bahkan nyaris lupa hingga belum menanyakan apakah Ocean dan Sky turut mendengar suara yang sedikit banyak mengganggu dan menakutkan apabila terulang lagi.
Hingga suatu malam, Emily membantu Hannah mencuci piring di pantry Puri Vagano yang besarnya hampir seluas pantry restoran. Ia tadinya hendak membuang sisa makan malam yang hanya berupa tulang-tulang ayam dan sedikit daging ke dalam tempat sampah.
"Kemarikan piring itu!" sentak Hannah tiba-tiba.
"Hah? Bukankah ini sisa makanan sa..." Emily terhenyak. Hannah spontan menyambar piring yang Emily pegang dan menyisihkan sisa makanan itu ke dalam sebuah wadah plastik bekas.
"Jangan pernah membuang sisa seperti ini, kau ke kamar saja, sebab ini urusanku!" Hannah tampak marah dan gusar.
Emily tak ayal jadi sedikit shock dibuatnya. Ekspresi serta tindakan Hannah sedikit banyak cukup mengerikan.
Dengan lutut gemetar, Emily kembali ke kamarnya.
Untuk apa semua sisa makanan itu, mengapa tak dibuang saja? Bilapun hanya ingin dimanfaatkan lagi, mengapa Hannah harus mengucapkannya dengan ekspresi sepanik dan semarah itu?
Namun Emily belum hendak mempertanyakan kecurigaannya itu, dan hanya memendamnya dalam hati saja.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H