Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Miris, Inilah Stigma-stigma yang Kerap Menempel pada Para Istri, Ibu dan Perempuan!

23 November 2022   11:58 Diperbarui: 23 November 2022   12:20 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via KJA Artists

Seorang istri/ibu dan perempuan pada umumnya selalu dianggap sebagai manusia yang bertugas memelihara dan mendampingi laki-laki serta membesarkan keluarga. Sebetulnya kedudukan perempuan sangatlah mulia dan patut dihargai. Di balik semua usaha emansipasi agar seorang istri dan perempuan masa kini bisa sebanding dan sejajar dengan pria, sedihnya masih saja begitu banyak stigma bermunculan di media maupun dunia nyata.

Berikut ini beberapa stigma dan contoh kasus viral tanpa menyebut nama, karena penulis rasa hampir semua perempuan atau sekitar kita juga mengalami.

1. "Perempuan harus kurus/langsing!"

Beberapa kasus artis wanita mengalami body shaming karena berat badan yang belum turun-turun setelah melahirkan. Akibatnya setiap foto atau video yang dibagikan akan terus dikomentari oleh netizen dan followers. "Kok gemuk 'sih?" "Apa gagal diet ya?" "Sepertinya hidupnya senang!" dan semacamnya.

2. "Perempuan harus berkulit cerah/bening!"

Masih segar kasus meme Twitter tentang diperbandingkannya dua ibu negara baru-baru ini membuktikan jika memang masih kental stigma siapa kelihatan seperti nyonya, siapa kelihatan seperti asisten rumah tangga jika sedang bersama. Jika ada di pihak yang lebih 'rendah', kelihatannya perempuan masih kurang 'diterima'.

3. "Jika belum punya anak laki-laki, belum jadi ibu!"

Kasus seorang ibu di Asia Timur di mana ia sedang hamil anak keempat lalu suami tiba-tiba ingin menceraikan karena ketiga anak mereka sudah perempuan, suami tak ingin jika anak keempat ini juga perempuan lagi. Suami sangat mendambakan keturunan dari anak laki-laki sebagai penerus keluarga.

4. "Istri harus bisa masak/mengurus rumah/ajar anak!"

Sebuah pemahaman usang dan klasik, namun masih ada hingga saat ini, khususnya dalam keluarga Asia yang masih berpikiran tradisional.

5. "Perempuan harus bisa dandan!"

Perempuan yang kurang bisa atau jarang berdandan akan dianggap tomboy atau 'kurang bisa tampil sebagai wanita'.

Sebenarnya semua stigma seperti tertulis di atas tidak perlu ada/berkembang lagi karena kita sudah berada pada zaman di mana perempuan diberi kebebasan menentukan bentuk tubuhnya, menerima apapun warna kulitnya, mensyukuri apapun kecantikan yang diterimanya.

Sayangnya, media sosial di mana orang-orang seharusnya malah bebas berekspresi menjadi diri sendiri kini malah menjadi momok yang menakutkan. Filter-filter dan aplikasi edit foto dan video yang tersedia menawarkan sejuta kepalsuan. Kosmetik dan make-up yang tren dan viral ramai dijual dan digunakan. Pelangsingan badan, pemutihan kulit tubuh, operasi plastik dan lain-lain ditawarkan secara masif sebagai solusi.

Kaum laki-laki yang 'terpengaruh' malah turut mendambakan perempuan yang dicirikan sempurna menurut media itu. Yang tidak mendapat, bisa-bisa kecewa. Perempuan yang di luar kategori, minder dan keluar arena.

Sungguh dahsyat akibat stigma. Siapa bisa menghindar darinya?

Namun kita selalu bisa mulai dari diri sendiri. Apa yang dapat kita perbuat untuk mencoba mengubahnya?

1. Tidak serta merta menyetujui pendapat umum dan kolektif bentukan media sosial. Memang sulit berkata 'tidak' di antara ribuan dan jutaan 'ya' namun sebagai perempuan, kita harus coba untuk menjadi individu yang memiliki pendirian sendiri.

2. Mencoba mengambil apa yang positif dan mengabaikan yang negatif.

3. Mengelilingi diri dengan yang sehati dan sefrekuensi.

4. Percaya bahwa anak-anak laki-laki maupun perempuan adalah titipan Tuhan, berkat terindah bagi keluarga.

5. Lakukan apa yang membuat diri kita nyaman. Buktikan bahwa dugaan atau pendapat mengenai perempuan ideal itu belum tentu akan membuat semua perempuan berbahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun