Mohon tunggu...
Randing RanteToding
Randing RanteToding Mohon Tunggu... Penulis - Trust

Tak ada fakta. Yang ada hanya interpretasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agama dan Politik di Indonesia

30 Mei 2019   04:13 Diperbarui: 30 Mei 2019   05:06 1379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Antara agama dan politik di Indonesia merupakan fakta yang menyatu padu, bagaikan sekeping uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda akan tetapi melekat pada pada satu kesatuan yang tak terpisahkan.  Dalam kontekstasi agama dan politik tersebut mengental nyata dipraktekkan dalam negara. Dalam pembahasan ini penulis memokuskan perhatian pada dua agama dominan di Indonesia yakni Kristen dan Islam.

Islam dan Politik

Jika kita mengamati wacana  politik Islam. Politik dan Islam tidak dapat dipisahkan. Secara ringkas, politik Islam/syari'ah dikatakan oleh Abdul Qadir adalah politik yang membawa seluruh umat manusia kepada ketentuan-ketentuan Islam. Dalam Negara Islam yang menjadi dasar ialah Firman Tuhan dan suara rakyat (musyawarah). Dengan tegas dapat dikatakan bahwa firman tuhan (Fox Dei) dan ajaran Nabi (Fox Prophetae) bergabung dengan suara rakyat (Fox Popule),menjadi kekuasaan tertinggi di dalam negara.

Islam dan politik jelas tidak dapat dipisahkan. Nabi Muhammad sendiri ialah seorang politikus handal yang bisa menjadi pemimpin bagi rakyatnya. Bahkan di zaman Islam pertama dahulu, masjid itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, tapi juga mempunyai fungsi politik yang sangat penting. Bukan saja tempat praktik politik seperti tempat musyawarah, ataupun tempat pembaiatan pemimpin/kepala Negara, dan lainnya lagi, tetapi masjid juga dijadikan tempat mempelajari teori-teori politik disampimg ilmu agama dan lainnya. Adapun menurut Anis Matta, Pengertian dalam penerapan syari'ah atau pembentukan Daulah Islamiyah, yakni ada beberapa logika yang perlu dipahami yakni sebagai berikut:

Pertama, Islam adalah sistem kehidupan integral dan komprehensif yang karenanya memiliki semua kelayakan untuk dijadikan sebagaireferensi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, berkah sisitem kehidupan Islam harus dapat dirasakan masyarakat, apabila ia benar-benar diharapkan dalamsegenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ketiga, untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka diperlukan dua bentuk kekuatan: kekuatan legalitas dan kekuatan eksekusi. Keempat, untuk memiliki kekuatan legalitas dan kekuatan eksekusi, diperlukan kekuasaan yang besar dan sangat berwibawa, yang diakui secara de facto maupun de jure. 

Atas dasar kerangka logika di atas, urutan persyaratan yang harus dipenuhi adalah meraih kekuasaan, memiliki kompetensi eksekusi, dan bekerja dengan keabsahan konstitusi. 

Yang mana itu semua ialah bagian daripada politik. Ini semakin menegaskan bahwa Islam itu tidak anti politik, bahkan politik merupakan suatu keharusan dan kebutuhan agar nilai-nilai Islam (syari'at)dapat diterapkandalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kehidupan masyarakat. Karena Islam ialah universaal dan integral, mencakup segala aspek kehidupan manusia termasuk dalam hal politik, dan Islam ialah agama rahmatan lil alamiin.

 

Kristen dan Politik

 Sebelum melihat dan berbicara tentang wawancara politik umat Kristen di Indonesia alangkah baiknya bila terlebih dahulu memahami hubungan antar gereja dan negara.  J. Philip Wogaman, memaparkan konsep yang sangat mempengaruhi politik Kristen di Indonesia yakni konsep tentang teokrasi: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya pemimpin agama atau lembaga keagamaan tertentu, yang mengendalikan kehidupan bernegera lewat berbagai  kebijakan kenegaraan dan undang-undang untuk tujuan- tujuan agama tersebut. 

Wogaman memberikan contoh terhadap teokrasi ini antara lain dalam kehidupan bangsa I brani kuno, tradisionalitas Tibet, kehidupan Puritanisme jaman kolonialisme Amerika, periode awal Mormonisme di Utah, dalam batas-batas tertentu terjadi sekarang di Iran, Katolik abad pertengahan, juga jaman modern sebelum Vatican II dan Zionis Israel.

Paham teokrasi ini berkaitan dengan apa yang disebut dengan istilah Negara -Gereja. Yang dimaksud dengan Negara -Gereja adalah satu bentuk kehidupan bersama dalam sebuah Negara (state nation), dimana undang-undang yang berlaku dalam Negara itu disusun berdasarkan keyakinan religius dari agama tertentu. Dalam Negara Gereja satu agama menentukan segala hal yang berlaku dalam Negara. Para pemimpin agama diangkat menjadi kepala Negara. Israel, Iran, dan juga Vatikan masuk dalam kategori ini.

Sementra Zakaria J. Ngelow  menjelaskan bahwa elasi supremasi Negara terhadap gereja mengakibatkan distorsi terhadap Injil, ketika suatu masyarakat Kristen dipaksakan oleh Negara dan Injil direduksi menjadi tatanan sosial, maupun ketika suatu tatanan politik diligitimasi atas nama Injil. 

Supremasi Negara terhadap gereja sebagaimana berlangsung pada kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) berakobat pada satu pihak gereja memperoleh hak-hak khusus dan perlindungan Negara, tetapi sekaligus kehilangan kekuatannya dalam menyuarakan kebenaran injil terhadap penguasa. Negara tidak sampai mencampuri urusan ajaran gereja, tetapi berhak dalam urusan kelembagaannya. Pola hubungan ini tetap berkembang dalam gereja Ortodoks dan dalam gereja-gereja Luteran, serta gereja-gereja Kalvinis pada abad-abad lalu, termasuk pada zaman kolonial di Indonesia.

Dengan melihat kemitraan gereja dan negara yang sehat diperkembangkan oleh para reformator berdasarkan pengalaman-pengalaman jemaat mula-mula. Dalam hubungan kemitraan ini diakui adanya fungsi bersama Negara dan gereja terhadap manusia dan masyarakat, dan ada usaha untuk dapat bekerjasama secara dinamis dalam berbagai bentuk bertolak dari bidang masing-masing.

 Fungsi ini terkait dengan kenyataan bahwa hakekat manusia dan masyarakatnya cenderung binasa oleh kuasa doasa yang terwujud dalam ketidakadilan,kemiskinan, penindasan, permusuhan, dsb. Tetapi kemitraan dengan gereja bersifat kritis-profetis karena pada satu pihak Negara adalah  hamba Allah (Rm 13), tetapi pada pihak lain dapat menjadi Si Binatang (Why 13).

Mempengaruhi etos pada level yang paling umum, gereja melakukan advokasi politik dengan mempengaruhi semangat jaman untuk memenuhi tindakan politik. Kebijakan dan program pubik ditujukan ke arah realisasi nilai-nilai kultural, dan segala sesuatu yang mendukung atau menentang nilai kultural yang sudah ada yang setidaknya memiliki relevansi politis. 

Lincoln dianggap sebagai orang yang menyatakan bahwa gereja harus menentukan batasan dimana politik harus berfungsi. Ini mungkin terlalu melebih-lebihkan pengaruh gereja. Tetapi tentunya gereja merupakan salah satu pengaruh yang ikut menentukan batasan itu.

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun