Paham teokrasi ini berkaitan dengan apa yang disebut dengan istilah Negara -Gereja. Yang dimaksud dengan Negara -Gereja adalah satu bentuk kehidupan bersama dalam sebuah Negara (state nation), dimana undang-undang yang berlaku dalam Negara itu disusun berdasarkan keyakinan religius dari agama tertentu. Dalam Negara Gereja satu agama menentukan segala hal yang berlaku dalam Negara. Para pemimpin agama diangkat menjadi kepala Negara. Israel, Iran, dan juga Vatikan masuk dalam kategori ini.
Sementra Zakaria J. Ngelow  menjelaskan bahwa elasi supremasi Negara terhadap gereja mengakibatkan distorsi terhadap Injil, ketika suatu masyarakat Kristen dipaksakan oleh Negara dan Injil direduksi menjadi tatanan sosial, maupun ketika suatu tatanan politik diligitimasi atas nama Injil.Â
Supremasi Negara terhadap gereja sebagaimana berlangsung pada kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) berakobat pada satu pihak gereja memperoleh hak-hak khusus dan perlindungan Negara, tetapi sekaligus kehilangan kekuatannya dalam menyuarakan kebenaran injil terhadap penguasa. Negara tidak sampai mencampuri urusan ajaran gereja, tetapi berhak dalam urusan kelembagaannya. Pola hubungan ini tetap berkembang dalam gereja Ortodoks dan dalam gereja-gereja Luteran, serta gereja-gereja Kalvinis pada abad-abad lalu, termasuk pada zaman kolonial di Indonesia.
Dengan melihat kemitraan gereja dan negara yang sehat diperkembangkan oleh para reformator berdasarkan pengalaman-pengalaman jemaat mula-mula. Dalam hubungan kemitraan ini diakui adanya fungsi bersama Negara dan gereja terhadap manusia dan masyarakat, dan ada usaha untuk dapat bekerjasama secara dinamis dalam berbagai bentuk bertolak dari bidang masing-masing.
 Fungsi ini terkait dengan kenyataan bahwa hakekat manusia dan masyarakatnya cenderung binasa oleh kuasa doasa yang terwujud dalam ketidakadilan,kemiskinan, penindasan, permusuhan, dsb. Tetapi kemitraan dengan gereja bersifat kritis-profetis karena pada satu pihak Negara adalah  hamba Allah (Rm 13), tetapi pada pihak lain dapat menjadi Si Binatang (Why 13).
Mempengaruhi etos pada level yang paling umum, gereja melakukan advokasi politik dengan mempengaruhi semangat jaman untuk memenuhi tindakan politik. Kebijakan dan program pubik ditujukan ke arah realisasi nilai-nilai kultural, dan segala sesuatu yang mendukung atau menentang nilai kultural yang sudah ada yang setidaknya memiliki relevansi politis.Â
Lincoln dianggap sebagai orang yang menyatakan bahwa gereja harus menentukan batasan dimana politik harus berfungsi. Ini mungkin terlalu melebih-lebihkan pengaruh gereja. Tetapi tentunya gereja merupakan salah satu pengaruh yang ikut menentukan batasan itu.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H