Filsafat pendidikan merupakan aplikasi ide-ide filosofis ke dalam masalah-masalah pendidikan. Begitupun sebaliknya, praktik-praktik pendidikan juga bisa menyumbang gagasan terhadap perbaikan ide-ide filosofis tersebut. Sebab pendidikan itu berkaitan dengan dunia ide juga aktivitas praktis. Ide-ide yang baik memiliki implikasi yang baik pula terhadap praktik-praktik pendidikan.Â
Di samping praktik-praktik pendidikan yang baik juga berimplikasi terhadap ide-ide pendidikan. Filsafat pendidikan lebih banyak disandarkan pada pemikiran-pemikiran para filsuf pendidikan sembari berupaya untuk mengaplikasikan pemikiran-pemikiran tersebut dalam praktik pendidikan. Hal ini tentu dengan suatu keyakinan bahwa praktik pendidikan itu tidak lepas dari landasan filsafat yang mendasarinya.Â
Filsafat pendidikan tidak hanya merupakan cara untuk mendapatkan dan mencari ide-ide, tetapi juga merupakan media pembelajaran tentang bagaimana menggunakan ide-ide tersebut secara lebih tepat.Â
Filsafat pendidikan hanya bisa menjadi signifikan ketika pendidik mengenali perlunya berpikir secara jernih tentang apa yang sedang mereka lakukan. Kemudian melihat relasi antara apa yang sedang mereka kerjakan dengan konteks individu dan perkembangan sosial yang lebih luas. Dalam konteks inilah, praktik memperluas teori dan mengarahkannya untuk mendapatkan kemungkinan-kemungkinan yang baru.
Hanya saja ini tidak berarti bahwa pendidik harus menerima pemikiran filsafat apa adanya. Mereka harus tetap menguji pemikiran filsafat sesuai dengan konteks sosial peserta didik. Ketika kondisi berubah maka perspektif dan wawasan harus diuji  kembali.Â
Filsafat pendidikan tidak bisa dilihat dalam ruang yang vakum, tapi harus dilihat dalam dinamika kekuatan-kekuatan yang lain.Â
Maka dari itu, mengkaji basis teori kritis yang menjadi landasan bagi praksis pendidikan yang memiliki corak dalam mengajarkan idea terhadap penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan, penghargaan atas perbedaan, dan pembebasan atas dominasi dan ketertindasan. Lantas memungkinkannya untuk memujudkan cita-cita transfomasi sosial dan emansipasi.
Platon percaya bahwa pendidikan adalah pembudayaan, proses di mana manusia anak-anak dijadikan manusia seutuhnya sesuai dengan karakter dan watak masyarakatnya (polisnya). Pendidikan bukanlah sekedar mentransfer pengetahuan. Kata "transfer" mungkin membuat kita mengingat uang atau rekening bank. Apakah menjadikan anak-anak kita menjadi berbudaya dan beradab semudah kita memindahkan rekening bank? Tentu tidak.Â
Apa yang mau kita didikan, cara kita mendidik, dan daya serap setiap anak didik begitu kompleks sehingga imaji transfer seperti itu tidak menolong kita untuk mendidik anak-anak. Gambaran lain yang mirip berbahayanya adalah mengumpankan pendidikan sebagai unduhan program ke kepala anak-anak.Â
Pembudayaan tidak sama dengan mengunduh aplikasi dari situs tertentu untuk dimasukkan ke mesin koomputer atau hand phone kita. Pembudayaan tidaklah segampang tindakan copy paste.
Institusi pemikiran Platon tentang pendidikan berpusat pada jati diri manusia, yaitu pada jiwanya. Mendidik artinya merawat jiwa dengan baik. Hanya jiwa yang terawat yang nantinya bisa melahirkan pemimpin dan masyarakat rasional yang menjadi idaman setiap orang.
Dalam bahasa Platon, aktivitas berfilsafat, di mana salah satunya adalah melakukan pendidikan, merupakan aktivitas "merawat jiwa". Para pemikir Yunani bergulat dengan takdir dan berusaha lolos dari kungkungannya dengan mengidamkan kehidupan ilahi yang immortal.Â
Ada keyakinan mendalam bahwa manusia, lewat jiwanya, memiliki hubungan dengan keilahian. Usaha melawan takdir (gerek menurun menuju moralitas, bahwa segala yang pernah lahir pasti akan mati) inilah yang disebut perawatan jiwa yang merupakan usaha bergerak menaik untuk menyerupai para dewa (menuju immortalitas).
Aktivitas berfilsafat sebagai perawatan jiwa tampak salah satunya dalam pendidikan. Mendidik bagi Platon artinya merawat jiwa -- sebuah ruang kebebasan -- sehingga di situasi faktual keterberiannya ia bisa memberikan orientasi tertentu pada dirinya sendiri. Salah satu situasi terberi manusia adalah bahwa dirinya sudah terbentuk oleh lingkungannya untuk menghasrati hal-hal tertentu.Â
Dalam keterberian dirinya, hidup dengan pengalaman inderawinya (memandang, mendengar, mengecap hal-hal inderawi) manusia selalu telah membentuk dirinya dengan hasrat-hasrat tertentu.Â
Dengan demikian, kebebasan pada peserta didik harusnya dibuka oleh soal-soal yang lebih otentik. Sebab pengalaman pada dirinya sendiri telah lebih dahulu membentuk intelektualitas dengan pengalaman masing-masing yang berbeda-beda. Maka, proses imitasi tersebut secara perlahan akan membentuk dirinya sendiri, dan dengan itu manusia sudah mendidik jiwanya sendiri secara tertentu.
Suatu proses belajar yang baik bukanlah terletak pada begitu banyaknya pengetahuan yang telah diserap oleh para pembelajar dan berakhir begitu saja tanpa adanya koherensi terhadap soal-soal yang lain. Tetapi melainkan bagaimana segala jenis pengetahuan akan menjadi alat untuk memeriksa dan memecahakan persoalan yang ada.Â
Maka hal itu menjadi penting terhadap kecerdasan, yang pada dasar itu, antitesanya bukan karena kebodohan, tetapi karena kurangnya kebebasan dalam berpikir.Â
Dalam hal ini adalah kualitas kebebasan berpikir yang dapat mengolah persoalan secara tajam pada tahap yang terus-menerus mengalami interpretatif terhadap soal-soal tertentu. Satu konsekuensi lain, bahwa harusnya pendidik dapat melihat keunikan dalam diri masing-masing perserta didik. Bukan sekedar berusaha mencetak anak didik dengan cetakan yang sama.Â
Sebagaimana yang dikatakan oleh Neil: Menjadikan sekolah cocok dengan peserta didik dan bukan mencocokkan peserta didik dengan sekolah. Ini membawa kita ke persoalan paling rawan dalam dunia pendidikan -- persoalan hakikat dan sejauh mana pengaruh yang mustinya dimiliki sekolah dalam perkembangan peserta didik.Â
Pada tingkat itu memang sekolah memiliki andil yang sangat penting terhadap kebebasan peserta didik dalam melihat potensi-potensi yang ada pada diri mereka sendiri.
Dengan demikan, integritas dari pendidik menjadi penting dalam menghasilkan peserta didik yang sanggup menempatkan diri di tengah-tengah perubahan masyarakat yang begitu cepat. Pendidik harus menghasilkan manusia yang mandiri, yang artinya mampu memilih berdasarkan nilai-nilai dengan gambar diri yang kokoh.
Terima Kasih.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H