Institusi pemikiran Platon tentang pendidikan berpusat pada jati diri manusia, yaitu pada jiwanya. Mendidik artinya merawat jiwa dengan baik. Hanya jiwa yang terawat yang nantinya bisa melahirkan pemimpin dan masyarakat rasional yang menjadi idaman setiap orang.
Dalam bahasa Platon, aktivitas berfilsafat, di mana salah satunya adalah melakukan pendidikan, merupakan aktivitas "merawat jiwa". Para pemikir Yunani bergulat dengan takdir dan berusaha lolos dari kungkungannya dengan mengidamkan kehidupan ilahi yang immortal.Â
Ada keyakinan mendalam bahwa manusia, lewat jiwanya, memiliki hubungan dengan keilahian. Usaha melawan takdir (gerek menurun menuju moralitas, bahwa segala yang pernah lahir pasti akan mati) inilah yang disebut perawatan jiwa yang merupakan usaha bergerak menaik untuk menyerupai para dewa (menuju immortalitas).
Aktivitas berfilsafat sebagai perawatan jiwa tampak salah satunya dalam pendidikan. Mendidik bagi Platon artinya merawat jiwa -- sebuah ruang kebebasan -- sehingga di situasi faktual keterberiannya ia bisa memberikan orientasi tertentu pada dirinya sendiri. Salah satu situasi terberi manusia adalah bahwa dirinya sudah terbentuk oleh lingkungannya untuk menghasrati hal-hal tertentu.Â
Dalam keterberian dirinya, hidup dengan pengalaman inderawinya (memandang, mendengar, mengecap hal-hal inderawi) manusia selalu telah membentuk dirinya dengan hasrat-hasrat tertentu.Â
Dengan demikian, kebebasan pada peserta didik harusnya dibuka oleh soal-soal yang lebih otentik. Sebab pengalaman pada dirinya sendiri telah lebih dahulu membentuk intelektualitas dengan pengalaman masing-masing yang berbeda-beda. Maka, proses imitasi tersebut secara perlahan akan membentuk dirinya sendiri, dan dengan itu manusia sudah mendidik jiwanya sendiri secara tertentu.
Suatu proses belajar yang baik bukanlah terletak pada begitu banyaknya pengetahuan yang telah diserap oleh para pembelajar dan berakhir begitu saja tanpa adanya koherensi terhadap soal-soal yang lain. Tetapi melainkan bagaimana segala jenis pengetahuan akan menjadi alat untuk memeriksa dan memecahakan persoalan yang ada.Â
Maka hal itu menjadi penting terhadap kecerdasan, yang pada dasar itu, antitesanya bukan karena kebodohan, tetapi karena kurangnya kebebasan dalam berpikir.Â
Dalam hal ini adalah kualitas kebebasan berpikir yang dapat mengolah persoalan secara tajam pada tahap yang terus-menerus mengalami interpretatif terhadap soal-soal tertentu. Satu konsekuensi lain, bahwa harusnya pendidik dapat melihat keunikan dalam diri masing-masing perserta didik. Bukan sekedar berusaha mencetak anak didik dengan cetakan yang sama.Â
Sebagaimana yang dikatakan oleh Neil: Menjadikan sekolah cocok dengan peserta didik dan bukan mencocokkan peserta didik dengan sekolah. Ini membawa kita ke persoalan paling rawan dalam dunia pendidikan -- persoalan hakikat dan sejauh mana pengaruh yang mustinya dimiliki sekolah dalam perkembangan peserta didik.Â
Pada tingkat itu memang sekolah memiliki andil yang sangat penting terhadap kebebasan peserta didik dalam melihat potensi-potensi yang ada pada diri mereka sendiri.