Demokrasi dibentuk harus mengedepankan substansi dan mengunakan hati. Ketika demokrasi mematikan dan mencabut kebebasan rakyat, konsekuensinya ialah menimbulkan kekecewaan, kekacauan, kekerasan dan tirani dalam berbagai bentuk terhadap rakyat. Puncaknya, kericuhan sosial yang dapat menjalar kesegala lini kehidupan republik.
Meninjau situasi bangsa hari ini, bisa dikatakan demokrasi kita dijebak kedalam pentas sempit yang jauh dari subtansi dan tidak menggunakan hati. Kebebasan berpolitik, berpendapat, berserikat, dan berbagai macamnya seakan akan hanya milik dan ranah para elit. Dan simulasi penuh kepalsuan itu pun acapkali dipertontonkan dengan amat banal dijagad televisi. Sementara selain dari golongan mereka, rakyat secara realitas sama sekali tidak memiliki kebebasan. Rakyat, hanya dianugrahi kebebasan bayang-bayang.
Kebebasan bayang-bayang
Kebebasan bukanlah hadiah cuma -- cuma. Ia adalah hak, melekat secara permanen dalam diri manusia. Negara, hadir bukan saja untuk mengakuinya melainkan memenuhinya. Sayangnya lebih sering penguasa menindas kebebasan tersebut, sehingga cendekiawan, seniman, dan pers yang diandaikan adalah kelompok paling depan dalam memperjuangkan kebebasan pun akan menjadi bungkam. (albert camus : 2013)
Kaum intelektual-lah yang terlebih dahulu menyerap atau menyadari apa artinya kebebasan berpikir, berbicara, berkreasi dan lain hal sebagainya kepada generasi-generasi selanjutnya. Polemik terjadi ketika semakin meningkatkan "keengganan" mentransformasikan pemaknaan kebebasan tersebut pada generasi selanjutnya, akan menjurus ke arah "rontok-nya" nilai-nilai yang luhur dan lebih nyata tak ada Freedom of Speech, Freedom of Thoughts, Freedom of Expression dsb.
Praktik politik hari ini menunjukan parodi kebebasan bayang-bayang. Kebebasan yang di paripurnakan dalam teks, namun tidak dipenuhi dalam konteks (realita). Padahal kebebasan subtansial dalam bentuknya (kebebasan berbicara, berpikir, berkreasi dan lain hal sebagainya) adalah ciri masyarakat yang sehat. Kebebasan tidak saja prasyarat politis bagi suatu negara demokrasi, melainkan 'ruh' demokrasi itu sendiri. Dibelahan bumi mana pun, banyak negara mengecam rezim diktator yang membungkam kebebasan rakyatnya.
Kebebasan bayang-bayang di level rakyat, adalah hasil dari manifestasi kekuasaan yang sebetulnya menggeser atau merubah jalur hakekat demokrasi kita. Produk dari buruknya tatanan infrastturktur politik yang menaungi demokrasi kita. Partai politik hanya menjadi alat
Tulisan Opini di GEMA Justisia Fak. Hukum Unand edisi Maret 2016
seni memburu kekuasaan. Yang menyalakan perseteruan, rasa rakus, nafsu dan ambisi, yang pada akhirnya menyalakan angkara kebiadaban bagi bangsa sendiri. Partai Poltik gagal menjadi teladan demokrasi, maka ia pun tak layak sebagai pelopor kebebasan.
Petunjuk arah
Bangsa ini telah bersepakat untuk mengunakan demokrasi sebagai "petunjuk arah jalan". Dalam demokrasi terpancar apa yang dikatakan kebebasan, keleluasaan untuk bertindak atau tidak bertindak berdasar pilihan. Kebebasan muncul dari doktrin bahwa rakyat yang ada dalam negara memiliki pikiran sendiri serta memiliki hak untuk bertindak menurut pilihanya. Meskipun, aturan-aturan lain yang mengatur batasan kebebasan rakyat.
Setiap rakyat berhak berpikir dan berhak berpendapat. Pendapat tidak berarti berperilaku. Moralitas yang menjadi turunan dari keberpihakan atau kebebasan berpendapat mengandung arti bahwa jika kita memiliki kebebasan berpendapat maka yang lain pun memilikinya. Dengan demikian wajib bagi negara untuk menghormati pendapat rakyatnya seberapapun buruk atau tidak setuju negara. Dalam negara demokrasi, tidak dibenarkan pengekangan dan penindasan dalam membatasi hak asasi.
Argumen sederhananya, demokrasi subtansial menghendaki kebahagian rakyat. Jika menginginkan kebahagian rakyat, tentu rakyat yang menjadi pelopor demokrasi. Sebaliknya, demokrasi yang berlandaskan pada kelas, acapkali mengabaikan jaminan terhadap kebebasan rakyat. Rakyat menjadi penonton pementasan kebebasan bayang-bayang yang dilakukan para elit.
Banyak terjadi pembatasan sehingga warga negara tidak bebas mengutarakan apa yang dikehendakinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa kebebasan berpendapat, berekpresi, berpikir dan hal sebagainya merupakan hak warga negara yang paling sering dilanggar ketika meminta hak dan kewajiban. Seharusnya setiap warga negara memiliki hak-hak yang tidak bisa diahlikan (inalienable rights), negara harus dapat menerima hukum dasar yang membatasi kekuasaanya sendiri, untuk mendapatkan hak-hak tersebut.
Hak dan kebebasan adalah penting, karena mengambarkan apa yang diinginkan dan dirasakan seperti yang dikatakan diatas. Memiliki kepentingan dan keinginan serta sudut pandang tersendiri termasuk sistem sosial dan fenomena yang ada. Oleh karena itu dalam hal individual, kita berhak bersuara dan dalam sosial mereka berhak untuk saling bertukar pendapat. Sistem ini adalah hakiki.
Karena itu, meminjam argumen dari Fareed Zakaria dalam buku yang berjudul "Masa Depan" mengatakan bahwa kebebasan suatu hal yang mengarah pada demokrasi, bukan demokrasi-lah yang mengarah pada kebebasan. Jika demokratis tidak baik akan meruntuhkan kebebasan dan supremasi hukum. Artinya demokrasi dan kebebasan harus berjalan bersamaan untuk mencapai keinginan rakyat secara keseluruhan. Tak membayang-bayang belaka.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H