Jokowi yang baik,
Sebelumnya saya mesti meminta maaf karena menyapa tanpa 'Pak'. Saya, barangkali adalah produk kebudayaan yang dilematis. Saya tumbuh dalam sebuah masyarakat yang gagap dan silau dengan matahari barat dan siap meninggalkan akar budayanya demi sepenuhnya menjadi subaltern. Mengabdi pada kekaisaran dunia yang kelak akan 'niscaya' berdiri kokoh seperti kata cucu Rockefeller. Kekaisaran dunia yang dibangun dari semangat kebebasan individu. Bukankah demikian. Akan lebih mudah bagi mereka para pemilik modal berkuasa apabila 'kebebasan' adalah pijakan ideologi. Maka, tentu mereka memiliki keleluasaan bergerak karena sudah menjadi konsensus dan nilai bersama. Menyapamu dengan nama, tentu sebuah kebenaran yang sah dari nilai egaliterisme. Maka, maafakan saya atas nilai-nilai itu.
Jokowi,
Ketika ibu melahirkan saya,kekuasaan Soeharto begitu menekan dengan ambisi pembangunanisme yang jelas-jelas didesain oleh para cukong di IMF dan semacamnya demi sebuah keuntungan. Sebuah proses pembangunan yang berhasil membangun kekayaan keluarganya selama 32 tahun tanpa jeda dan sukses membangun rasa takut masyarakat karena selalu diawasi para intel. Ibu saya, seperti yang diceritakannya kemudian setelah saya dewasa -mengalami trauma karena menjadi saksi betapa berhasilnya Soeharto membangun rasa takut rakyatnya dengan tuduhan subversif dan PKI bila berseberangan.
Jokowi, trauma ibu ini sepertinya menjalar dan menular pada saya. Seperti layaknya dosa waris yang memberi beban dosa tanpa henti dari Adam-Hawa kepada setiap jiwa yang disebut manusia. Pada zaman saya -dalam sebuah periode politik yang seolah sebuah tatanan baru (orang menyebutnya masa reformasi) saya menyaksikan betapa kita ternyata dipenuhi oleh jiwa-jiwa yang hilang jiwa (seperti puisi Huesca yang diterjemahkan Chairil Anwar). Para politisi, pejabat bahkan ulamanya menjual diri, korupsi dan banyak hal lain yang bercampur apa yang mereka sebut sebagai kebajikan manusia.
Jokowi yang baik,
Sesungguhnya saya (kami) sudah sangat lelah mencari jalan keluar dari labirin politik yang berliku dan gelap. Kami seperti terjebak saja dalam sebuah lingkaran setan yang tak memberi harapan pada jalan surga. Lihat saja, betapa kita menjadi bangsa tak berharga karena dipimpin oleh para pemimpin yang tak berguna. Mereka ini lahir sebagai kutukan yang membebani punggung sisypus dengan batu kesengsaraan tiada henti. Tiga kali pemilu di masa reformasi bahkan tak mengahasilkan kebaikan bangsa. Kita justru semakin terpojok di sudut gelap dari cita-cita lazimnya semua bangsa-bangsa. Aset kita tergadai atau terjual pada bangsa asing. Para politisinya hanya sekedar perpanjangan tangan para pemegang modal. Regulasi-regulasi dilahirkan bukan untuk tujuan melindungi dan demi kemakmuran rakyat, tetapi untuk kepentingan para cukong besar. Mereka itu benar-benar menipu rakyat. Mereka berjuang bukan untuk kami.
Jokowi yang baik,
Beberapa tahun ini, saya mendengar reputasimu. Terutama ketika memimpin di Solo. Banyak hal yang baik terjadi. Meskipun belum luar biasa tetapi menarik perhatian karena memang jarang pemimpin yang hadir seperti dirimu. Sejujurnya, saya menjadi berharap banyak kepadamu. kamu pasti juga tahu kita tidak banyak memiliki pemimpin yang seperti diharapkan rakyat. Partai-partai belum mampu menjadi ibu yang baik dan melahirkan pemimpin yang sholeh dan kuat. Apalagi pemimpin seperti Umar bin Kattab.
Semoga kamu juga bukan pemimpin yang besar karena karbitan. Saya juga sadar bahwa jalanmu berliku dan terjal. Tidak mudah memimpin dalam situasi yang sudah porak-poranda seperti ini. Negara ini layaknya kapal yang hampir tenggelam yang membutuhkan sekoci penyelamat atau gerak cepat dan tegas dari seorang pemimpin yang bervisioner.
Jokowi yang baik,