Mohon tunggu...
Rana Maimunah
Rana Maimunah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Indonesia

Public Health

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Krisis Air Bersih NTT, Sudah Lakukan Apa Saja?

6 Desember 2022   21:58 Diperbarui: 6 Desember 2022   22:38 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang kita ketahui, air merupakan hal esensial bagi setiap makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Perlu disadari bahwa pentingnya air untuk keberlangsungan hidup merupakan hal yang mendasar bagi manusia untuk kerap memperhatikan serta menjaga keeksistensian dan kelayakkan air, dalam hal ini adalah air bersih. 

Sayang sekali, masyarakat Indonesia, terutama mereka yang bermukim di pulau-pulau kecil ataupun miskin mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. 

Provinsi-provinsi tergolong miskin di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki permasalahan krisis air bersih yang menjadi permasalahan selama puluhan tahun dan belum terpecahkan hingga kini. 

Kualitas air dan volume air yang kurang memadai menjadi fenomena umum yang ditemukan di NTT. Kesulitan tersebut dipengaruhi oleh keterbatasan sumber daya air yang disebabkan oleh karakteristik hidrologi, topografi, jenis tanah, dan iklim. Namun, di luar itu banyak hal yang berkontribusi besar, yaitu tata kelola air dan sanitasi setempat.

Realitanya, Seperti Apa Status Krisis Air Bersih di NTT?

Berdasarkan hasil riset dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018, data Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) menyertakan bahwa 73,8% desa/kelurahan di NTT atau 2.475 dari 3.353 desa/kelurahan mengalami tingkat risiko terhadap kekeringan yang tinggi hingga sangat tinggi. 

Selama 2 tahun terakhir, analisis dari Data dan Informasi Bencana Indonesia (DIBI) milik BNPB juga menunjukkan jumlah fenomena kekeringan di NTT meningkat secara signifikan. Dampaknya, masyarakat NTT akan menikmati beberapa ancaman, salah satunya krisis air bersih.

Anehnya, beberapa data mengatakan hal yang bertolak belakang dengan apa yang terlihat pada berita-berita atau studi kasus yang dilakukan di NTT. Salah satunya, yaitu data Riskesdas tahun 2018 memperlihatkan bahwa pemakaian air perorang perhari <20 liter sebesar 13,81%, dimana mengalami perubahan yang baik dibandingkan data Riskesdas sebelumnya.  

Namun, Riset yang dilakukan oleh Susilo dan kawan-kawan pada Maret 2021 menunjukkan bahwa banyak penduduk di NTT harus menempuh jarak sepanjang 6--10 kilometer untuk membeli air bersih, yang kini dikenai harga Rp2.500 per 20 liter. Bahkan, beberapa kali mereka harus berebut. 

Data lain yang bertolak belakang, yaitu terdapat data Susenas tahun 2020 menunjukkan bahwa sebesar 81,13% capaian akses air minum layak telah dirasakan oleh penduduk NTT. Data tersebut tidak merujuk bahwa pada kenyataannya ketersedian akses tersebut belum mencakup standar layanan yang baik dengan adanya saluran pipa dan keterjangkauan harga air bagi penduduk.

Mengapa Krisis Air Bersih di NTT Terjadi?

Berdasarkan artikel yang dimuat oleh Airkami.id, penyebab utama krisis air bersih di Nusa Tenggara Timur adalah musim kemarau panjang dan curah hujan yang rendah. 

Sejumlah daerah di NTT diketahui mengalami musim kemarau ekstrim hingga mencapai lebih dari 60 hari. Hal ini tentunya menyebabkan pasokan air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) berkurang dan menurun drastis hingga sekali seminggu. 

Jika terjadi hal tersebut, biasanya warga akan mencari sumber air di tengah hutan dan daerah aliran sungai. Sayangnya, sumber air di beberapa daerah tersebut juga diketahui telah tercemar akibat pembangunan pabrik, usaha pertambangan, serta tercemar oleh bakteri Escherichia Coli.

Menelisik dari alamnya, Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang berdiri di atas bentang 6 alam Karst. Struktur daratannya tersusun atas banyak batu gamping koral, pasir, dan batu karang. 

Karst identik sebagai wilayah kering yang tidak subur, daerahnya berupa cekungan-cekungan, memiliki sungai di bawah permukaan, namun kering di atas permukaannya. 

Keberadaan sumber air di wilayah karst sulit untuk dijangkau karena air dapat berada pada puluhan meter di bawah permukaan tanah. Struktur alam bebatuan ditambah dengan musim kemarau yang berkepanjangan, semakin memperparah krisis air bersih di NTT.

Alasan Krisis Air Bersih Masih Menjadi Tantangan Besar di NTT 

Permasalahan krisis air bersih selalu terjadi setiap tahun di berbagai kabupaten di NTT. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan curah hujan rendah. Daerah geografisnya yang tersusun atas bebatuan semakin tidak mendukung kelancaran sumber mata air di wilayah tersebut. 

Akan tetapi, selain kedua faktor yang telah disebutkan, faktor tata kelola juga menjadi tantangan yang besar. Pemerintah daerah maupun pusat belum sepenuhnya mengatur tata kelola air di NTT dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pengelolaan infrastruktur air bersih dan sanitasi yang dikelola oleh lima kementerian berbeda tanpa ada lembaga yang memimpin.

Dari segi pembiayaan, pemerintah juga belum mampu mengelola dana APBD untuk kebutuhan air bersih dengan baik. Hal ini dapat terlihat dari masih adanya kesenjangan pembiayaan antara kebutuhan biaya dalam pembangunan infrastruktur tata kelola air dengan biaya yang disetujui oleh pihak PDAM. 

Dalam RPJMN Tahun 2020-2024, disebutkan bahwa pemerintah membutuhkan kurang lebih 216 triliun untuk pembangunan infrastruktur tata kelola air. Namun, biaya yang disetujui oleh PDAM hingga 2024 hanya 34 triliun. 

Pembiayaan yang tidak menunjang ini menyebabkan terhambatnya pembangunan infrastruktur yang lagi-lagi tidak memberikan solusi cepat dalam menangani krisis air bersih di NTT.

Kerusakan ekosistem hutan dan daerah aliran sungai menjadi tantangan besar pula dalam menghadapi krisis air bersih. NTT menjadi salah satu provinsi yang memiliki banyak titik api di Indonesia. 

Pada tahun 2019 misalnya, terdapat 14.352 titik api yang menyebabkan kebakaran hutan mencapai seluas 328.722 ha. Tidak hanya karena kebakaran hutan, aktivitas perusahaan tambang di kawasan hutan lindung turut menjadi penyebab. 

Belum adanya kebijakan dan sikap tegas dari pemerintah terhadap aktivitas dan izin usaha pertambangan di wilayah yang menjadi sumber mata air terus menjadi kekecewaan bagi masyarakat NTT. Wilayah yang seharusnya termasuk dalam zona lindung justru tidak dilindungi oleh pemerintah.

Butuh Solusi Tepat Penanggulangan Krisis Air Bersih di NTT 

Tentu saja, sebagian besar kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih membutuhkan solusi yang tepat untuk menanggulangi krisis air bersih di lokasinya. Hal penting yang harus diingat adalah kolaborasi dari berbagai pihak terutama antara pemerintah dan masyarakat daerah perlu dilakukan demi mengatasi permasalahan krisis air bersih yang terus berlanjut. 

Pemerintah daerah dapat menerapkan teknologi desalinasi dalam rangka menanggulangi krisis air bersih di NTT. Desalinasi merupakan proses mengubah air laut menjadi air tawar yang layak minum dengan cara menyaring kandungan garam yang ada pada air laut. Desalinasi tidak hanya memberikan manfaat dalam mencukupi kebutuhan air bersih namun juga dapat menghentikan laju penurunan tanah akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan.

Selain desalinasi, kebijakan dalam mengatasi pembangunan area berkepentingan di wilayah yang mengandung sumber air perlu ditegakkan. Mengapa hal ini penting? Karena masih banyak pembangunan area pertambangan di lokasi yang dapat menjadi sumber air bersih bagi masyarakat NTT. 

Pemerintah harus sadar bahwa air merupakan public goods, yaitu apabila dikonsumsi oleh seseorang maka tidak akan mengurangi kesempatan orang lain untuk ikut mengkonsumsinya. Oleh karena itu, intervensi pemerintah dalam kebijakan penyediaan air bersih maupun pembangunan berkaitan dengan sumber air perlu dilakukan perubahan pendekatan, yaitu dari pendekatan ekonomi menjadi pendekatan sosial, sebab peran air yang penting bagi manusia.

Bersamaan dengan itu, lagi-lagi NTT perlu mengadakan perbaikan kinerja PDAM dan peningkatan program PAMSIMAS. PDAM di NTT masih memiliki banyak kelemahan, antara lain adalah keterbatasan SDM, banyak aset yang dalam kondisi rusak, hingga tidak memiliki SOP pengadaan yang benar. 

Perbaikan dari berbagai evaluasi tersebut dapat menjadi langkah untuk mewujudkan penyediaan air minum yang dijual dengan prinsip efisiensi dan produktivitas. Sedangkan, peningkatan program PAMSIMAS, di mana pada dasarnya merupakan program yang mendorong partisipasi masyarakat sehingga sosialisasi dan rapat koordinasi kepada seluruh pelaku program PAMSIMAS sangat dibutuhkan dan perlu dilakukan secara berkala. 

Banyak, lho, wilayah lain yang masyarakatnya sudah melaksanakan program PAMSIMAS dengan buah hasil yang dikategorikan baik. Mungkin, hal itu bisa dievaluasi dan dicontoh oleh pemerintah dan masyarakat NTT.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun