Menonton Indonesia Lawyers Club (ILC) semalam dengan tema "Di Balik Drama Hoaks Rana Sarumpaet", saya jadi menyadari satu hal: bahkan saat berada dalam kondisi yang menguntungkan, skill komunikasi kubu Jokowi kurang baik. Dalam kasus hoaks ini, pantaslah kubu oposisi berada di bawah jempol karena keteledoran mereka yang menyebarkan berita bohong Ratna Sarumpaet, tak tanggung-tanggung, bahkan sampai calon presiden nol dua sendiri, Prabowo Subianto, juga ikut menyebarkan berita bohong tersebut dan akhirnya meminta maaf.Â
Saya kira pada kondisi seperti ini, kubu Jokowi tidak perlu berbuat banyak. Hanya perlu stick to the fact sambil mendukung penyidikan yang sedang dilakukan oleh pihak kepolisian. Play it cool. Take the high road. Namun malam itu, Budiman Sudjatmiko sebagai tim kampanye capres Jokowi tidak melakukannya.
Seakan mengabaikan salah satu nasihat Sun Tzu yakni "jangan menekan terlalu keras musuh yang sedang terpojok", Budiman terus menekan kubu lawan dengan teorinya bahwa hoaks Ratna Sarumpaet itu direncanakan dengan sistematis oleh kubu nol dua.
Ia nampaknya sudah muak dengan segala manuver kubu lawannya dan menyampaikan pendapatnya dengan menggbu-gebu menggunakan bahasa-bahasa yang tinggi dan metaforik. Namun berlama-lama dengan metafora seakan menghilangkan poin Budiman sehingga komunikasinya kurang bisa ditangkap dengan efektif.
Gaya penyampaian Saor Siagian juga tak kalah problematik. Ia hadir sebagai Koordinator Koalisi Advokat yang turut melaporkan Ratna Sarumpaet, beserta Prabowo dan Fadzli Zon, ke Mabes Polri.
Selain itu, ia juga melaporkan empat anggota DPR ke MKD karena dianggap telah melanggar kode etik. Sebenarnya ia memiliki poin yang solid dalam argumennya, yakni, orang yang menyebarkan kebohongan Ratna ke publik bukanlah Ratna. Ratna hanya berbohong ke keluarganya dan ke beberapa tokoh.
Para tokoh tersebutlah kemudian yang menyebarkan kebohongan Ratna Sarumpaet ke publik melalui media sosial dan konferensi pers sehingga menimbulkan keonaran.
Poin yang solid dan fakta yang tidak bisa dibantah, memang. Sayang seribu sayang, gaya penyampaian Saor terlalu melebih-lebihkan, lebay, dan hiperbolik. Dalam kesempatan itu ia bilang bahwa konferensi pers Prabowo menimbulkan suasana yang "luar biasa mencekam". Jangankan pendukung Prabowo, saya yakin banyak orang yang bukan pendukung Prabowo pun pasti geli mendengarnya karena mbok ya lebay amat gitu lho. Penyampaian yang lebay seperti ini akhirnya malah terdengar konyol dan menutupi poin utama yang sebenarnya tanpa perlu dilebay-lebaykan pun sudah cukup kuat.
Kubu sebelah tidak menyia-nyiakan kelemahan komunikasi lawan dan memanfaatkannya dengan sangat baik. Fahri Hamzah mengambil posisi sebagai orang waras dan ksatria yang menyatakan siap dipenjara asal masalah konyol tentang hoaks ini bisa cepat selesai dan diskursus publik dibawa ke ranah yang lebih substansial tentang program-program.
Nampaknya itu membuat Budiman semakin geram dan mengungkapkan bahwa kubunya dari dulu sudah waras, justru kubu Fahri-lah yang menyeret kubu-nya bermain di isu-isu yang tidak penting seperti ini, dan ia terpaksa, untuk kali ini saja, meladeni.
Pada kesempatan itu juga suara Budiman meninggi, bahkan sempat mengungkit kembali kasus Ahok, tapi tetap dengan gaya pembawaan yang penuh metafora. Keluarlah frasa "bola salju api" yang belakangan diolok-olok oleh netizen kubu Prabowo. Mendengar Budiman panas serta membawa kembali isu Ahok, Fahri dengan sigap langsung mem-frame Budiman sebagai "pendendam" dan "gagah-gagahan" lalu kembali menyuarakan retorika-retorika kewarasan.
Melihat perbincangan keduanya seperti melihat orang dewasa yang gregetan menghadapi bocah yang pinter ngeles dan akhirnya si orang dewasa geram sendiri tapi tidak bisa ngapa-ngapain, mau ngegaplok juga gabisa, soalnya anak kecil.
Dahnil Simanjuntak, tim kampanye capres Prabowo, juga tahu betul memposisikan diri dalam debat tersebut dengan memanfaatkan komunikasi Budiman yang tebal emosi serta penuh metafora. Diberi kesempatan berbicara setelah Budiman, Dahnil menyentilnya dengan bilang "padahal saya lagi dengerin puisi Pak Budiman," mengindikasikan bahwa Dahnil sadar, gaya pembawaan Budiman yang penuh diksi tingkat tinggi dan cenderung puitis itu merupakan celah yang bisa dieksploitasi sepanjang berdebatan.
Ia kemudian dengan tenang dan lugas menceritakan kronologi bagaimana kubu Prabowo bisa ditipu oleh Ratna Sarumpaet. Pembawaan Dahnil yang tenang dan lugas pada saat itu seakan menegaskan, di meja itu, ialah orang yang lebih level-headed, berbeda dengan orang di seberangnya yang berbicara dengan menggebu-gebu penuh kegeraman.
Jangan salah, secara substansi, sebenarnya Fahri dan Dahnil tidak lebih unggul dibanding Budiman atau bahkan Saor. Banyak hal yang disebutkan Fahri memang sekedar pepesan kosong ala politisi, seperti ketika ia meminta penyidikan dihentikan dan difokuskan hanya pada Ratna Sarumpaet hanya karena Ratna menyampaikan melalui surat bahwa hanya dia yang bertanggungjawab.Â
Tentu saja sistem peradilan tidak bekerja seperti itu, hanya karena tersangka bilang dialah satu-satunya yang bertanggungjawab, bukan berarti ucapan itu bisa dianggap sebagai kebenaran mutlak begitu saja oleh penyidik sehingga penyidikan bisa langsung dihentikan. Penyidik tetap memiliki hak penuh untuk memanggil siapa saja yang dianggap bisa memberikan keterangan, poin yang juga ditekankan oleh Saor. Tudingan bahwa Fahri inkonsisten dari Budiman juga bukan tanpa alasan.
Fahri yang kemarin menyuarakan bahwa ini bukan masalah politik melainkan masalah pribadi dan tidak perlu dibesar-besarkan, justru adalah orang yang sudah ancang-ancang untuk menarasikan kasus penganiniayaan tersebut sebagai masalah politik. Fahri yang meminta polisi mengusut dengan sigap penganiayaan terhadap Ratna juga menjadi orang yang malah mempertanyakan ketika polisi berhasil mengungkap hoaks dengan sangat cepat.
Namun malam itu, silat lidah Fahri dan Dahnil nampaknya lebih jago dan licin dibandingkan Budiman dan Saor.
Rocky Gerung Effect
Semenjak Rocky Gerung sering diberi panggung, gaya bicaranya yang penuh satir, metafora, dan diksi-diksi tingkat tinggi yang ambigu, semakin dikenal khalayak. Ia pun akhirnya dikenal sebagai sosok filsuf jenius yang bahkan sering dipanggil "Professor" walau secara akademis sebenarnya belum memperoleh gelar itu.
Saya sendiri tidak terlalu menganggap serius pendapat-pendapat Rocky Gerung, sama seperti saya tidak menganggap serius pendapat Jonru, Denny Siregar, atau Abu Janda karena mereka adalah orang-orang yang dengan bangga menampakkan bias-nya.
Namun dalam kasus Rocky Gerung, saya bisa mengerti kenapa banyak orang memuja dan mengelu-elukannya. Ia adalah figur yang dianggap jenius, maka orang berbondong-bondong mengekor mengaminkan apa saja yang ia ucapkan agar terlihat pintar. Ia juga orang yang mengkoinkan terma "IQ 200 sekolam" dan "dungu" untuk menyerang kubu petahana alias (((CEBONG))).
Ikut menggunakan istilah yang diciptakannya seperti "IQ 200 sekolam" dan "dungu" untuk berdebat pun bisa membuat orang merasa seperti jenius juga. Lihatlah saja mention twitternya, banyak sekali para pemujanya yang mengerubungi tweet-tweet satirnya sambil mengaminkan dan berusaha mengikuti menggunakan gaya bicara puitis yang oh-so-genius. Inilah Rocky Gerung Effect.
Ironisnya, menggunakan gaya bicara yang seperti itu juga malah dianggap perlu oleh kubu petahana. Mungkin melihat pembuat retorika ulung ada di kubu oposisi, kubu petahana merasa perlu mengimbanginya, hence gaya bicara Budiman di ILC semalam. Padahal gaya bicara seperti itu tidak selalu cocok dan sesuai untuk semua kondisi perdebatan.
Rocky Gerung mungkin bisa menggunakan retorika dan metafora serta bersembunyi di balik ambiguitas karena retorika dan metafora memberi ruang yang luas untuk interpretasi, dan interpretasi adalah celah dalam hukum. Hey, bahkan dia bisa melenggak-lenggok melewati Pasal Penodaan Agama di atas nama interpretasi setelah mengatakan "kitab suci adalah fiksi". Jadi gaya bicara seperti itu bukan hanya disukai Rocky Gerung, tapi dibutuhkan Rocky Gerung agar bisa tetap "nakal" tanpa terjerat kasus hukum.
Namun untuk komunikasi kampanye seperti Budiman dan Dahnil yang butuh dipahami dan ditangkap oleh masyarkaat seluas-luasnya dari latar belakang apapun, gaya bicara yang lugas, jelas, dan tidak bertele-tele adalah yang utama.
Karena orang yang pintar bukanlah yang terlihat pintar ketika pandai bermain retorika dengan diksi tingkat tinggi, tapi yang mampu berpikir dengan lurus dan menyampaikan isi pikirannya dengan sejelas-jelasnya dan sesederhana mungkin sehingga bisa dipahami oleh anak kecil sekalipun.
Menyeret Prabowo
Berbagai teori konspirasi akan kasus ini menyeruak, baik di kubu Jokowi maupun Prabowo. Dari kubu Jokowi, tidak sedikit orang yang percaya bahwa hoaks Ratna Sarumpaet adalah sebuah grand design yang gagal dieksekusi dan akhirnya Ratna ditumbalkan dan semua orang yang terlibat balik kanan, cuci tangan, cuci kaki, lalu bobo ciang. Ada teori yang mengungkapkan bahwa operasi ini sudah terencana dimulai dari rencana Ratna yang akan menghadiri konferensi Women Playwrights di Chile.
Dilihat dari pemilihan tanggal untuk operasi dan tanggal disebarnya foto, Fadli Zon dkk sengaja menyebarkan isu dua hari sebelum keberangkatan Ratna agar polisi tidak sempat mengungkap fakta sebenarnya sehingga Ratna bisa pergi ke Chille dan menyuarakan kepada masyarakat internasional bahwa ia mengalami penganiniayaan di dalam negeri. Isu HAM di Indonesia akhirnya pun menjadi sorotan dan memperlemah Jokowi secara signifikan.
Dari kubu Prabowo, tidak sedikit juga yang percaya bahwa Ratna Sarumpaet sengaja ditempatkan di gerbong Prabowo untuk berkhianat dan menurunkan kredibilitas Prabowo. Bahkan banyak juga yang mempertanyakan kecepatan polisi mengungkap kasus hoaks ini. Mereka curiga bahwa memang kasus ini adalah rekayasa yang sudah sengaja disiapkan untuk menggembosi ban nol dua.
Saya sendiri adalah termasuk yang percaya bahwa ini memang hanya kasus konyol seperti yang terlihat. Tidak seperti Budiman, saya percaya bahwa kubu Prabowo murni dikibulin oleh Ratna Sarumpaet dan akhirnya harus menanggung malu dan ramai-ramai meminta maaf. Namun itu saja sudah cukup menurut saya untuk menyeret Prabowo dalam perkara ini, setidaknya untuk diperiksa.
Retorika favorit kubu Prabowo saat ini adalah reaksi mereka murni karena tidak tahan melihat seorang ibu umur 70 tahun dianiaya, masa' sih reaksi kemanusiaan itu adalah sebuah tindak pidana? Sekilas memang masuk akal, namun karena kasus ini adalah hoaks, maka yang harus mereka pertanggungjawabkan sebenarnya bukan reaksi kemanusiaan mereka, karena niat memang tidak bisa dibuktikan, tapi bagaimana judgement mereka dalam mengenali kasus hoaks, serta bagaimana effort mereka dalam memverifikasi terlebih dahulu sebuah kabar berita sebelum menyebarkannya. Fakta bahwa justru bukan Ratna Sarumpaet lah yang membawa kebohongannya ke publik jelas memberatkan mereka di sini.
Sebagian besar terdakwa berita bohong juga saya yakin tidak tahu jika yang mereka sebarkan itu hoaks. Justru karena mereka yakin apa yang mereka sebarkan itu benar, makanya mereka sebarkan.
Niatnya pun tentu baik-baik, untuk mengingatkan, untuk memperingatkan, dan sebagainya. Misalnya penyebar hoaks telur palsu, tentu sebenarnya dia hanya ingin memperingatkan ibu-ibu yang ke pasar agar tidak tertipu, penyebar hoaks gempa, tentu niatnya sebenarnya baik untuk memperingatkan warga agar tidak terkena dampak gempa, dan seterusnya. Namun yang dipertanggungjawabkan bukan niat mereka, tapi judgement mereka saat menerima kabar hoaks tersebut, kenapa kok disebarkan? Kenapa tidak diverifikasi?
Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dengan jelas menyebutkan
(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.Â
Artinya, jika tidak ada unsur kesengajaanpun, masih bisa terkena Pasal 14 Ayat 2. Di sana ada dua unsur, yakni "pemberitahuan yang disiarkan menerbitkan keonaran" dan orang yang bersangkutan "patut menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong", artinya jika dua unsur ini ada pada kasus penyebaran berita Prabowo, Fadli Zon, dan lain-lain, maka mereka bisa dijerat dengan ayat ini.
Kubu Prabowo bisa mengadvokasi dari sisi ini, berargumen bahwa efek yang ditimbulkan dari konferensi pers tidak seperti yang dikatakan Saor Siagian yang sampai "mencekam luar biasa", atau berargumen seperti yang dikatakan Dahnil bahwa Pak Prabowo sebagai warga biasa tidak punya instrumen seperti instrumen intelijen untuk memverifikasi secara lebih dalam apakah yang dikatakan Ratna Sarumpaet benar, maka Prabowo sudah maksimal usahanya untuk verifikasi karena sudah mendengar sendiri dari yang bersangkutan dan melihat sendiri bukti "lebam-lebam" pada wajah Ratna Sarumpaet.
Sangat memungkinkan juga argumen-argumen itu kuat dan akhirnya Prabowo CS tidak bisa dijerat Pasal 14 Ayat 2, sangat mungkin. Namun tentunya proses pemeriksaan akan sangat wajar jika dilakukan untuk memastikan itu. Sayangnya tidak ada yang mengambil angle ini yang memang berdasarkan fakta bahwa Prabowo menyebarkan berita hoaks, tapi Budiman malah tetap menekankan bahwa Prabowo sudah merencanakan. Walau kecurigaan ini cukup beralasan, tapi tentu saja setiap tudingan yang tanpa bukti bisa dengan mudah ditangkis oleh Dahnil.
Banyak juga pendukung kubu Prabowo yang menggiring opini dengan mengalihkan bahwa "bagaimana dengan Jokowi? Bukankah dia juga sering berbohong? Berarti bisa ditangkap juga dong? " Ya, bisa saja. Saya setuju-setuju saja, semua orang yang terbukti menyebarkan kabar bohong atau hoaks, dijerat, tidak peduli itu Jokowi, Prabowo, Fadli Zon, Rocky Gerung, Mahfud M.D, Megawati, atau Thanos sekalipun, jika memang melakukan kesalahan ya patut-patut saja dihukum, karena semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
Sarumpaet Hanya Teaser
Kubu lawan boleh jadi sedang kesandung, satu peluru berhasil dihindari, tapi itu bukan alasan kubu petahana untuk haha-hihi. Mereka harus mengambil pelajaran dan catatan sebanyak-banyaknya dari kasus ini, salah satunya adalah betapa kubu lawan sudah siap kuda-kuda untuk menyerang menggunakan jurus yang bisa saja sangat mematikan: isu HAM.
Boleh jadi keran isu SARA sudah ditanggulangi dengan pengangkatan K.H Ma'ruf Amin, tapi tentu saja ini hanya akan membuka keran-keran baru serangan dari kubu lain. Selama ini yang terlihat adalah kubu nol dua selalu mempersiapkan amunisi untuk mengganjal dengan isu ekonomi, tapi ternyata kasus hoaks ini bagaikan teaser yang memperlihatkan bahwa kubu Prabowo pun punya ancang-ancang untuk menyerang dari sisi isu HAM.Â
Pada pemilu 2014, mungkin isu HAM adalah kelemahan terbesar Prabowo, tapi dalam pemilu 2019 ini, ketika lima tahun kepemimpinan Jokowi tidak terlihat keseriusan pemerintah memenuhi janji kampanye-nya untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu dan banyaknya pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi bahkan sempat disorot oleh dunia internasional, bisa jadi isu HAM lebih mengerikan untuk Jokowi dibandingkan untuk Prabowo pada perhelatan nanti.
Kita lihat saja bagaimana kedua kubu saling mengeluarkan dan menangkis jurusnya, tentunya sambil memberikan edukasi politik yang positif kepada masyarakat. Namun jika gaya bicara para politikus masih berkutat di ngotot-ngototan, retorika kosong, metafora yang membingungkan, hiperbola yang lebay, dan asal jeplak, kok ya rasanya malas untuk nonton debat-debat di TV. Lebih baik nonton sinetron Dzolim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H