Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dengan jelas menyebutkan
(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.Â
Artinya, jika tidak ada unsur kesengajaanpun, masih bisa terkena Pasal 14 Ayat 2. Di sana ada dua unsur, yakni "pemberitahuan yang disiarkan menerbitkan keonaran" dan orang yang bersangkutan "patut menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong", artinya jika dua unsur ini ada pada kasus penyebaran berita Prabowo, Fadli Zon, dan lain-lain, maka mereka bisa dijerat dengan ayat ini.
Kubu Prabowo bisa mengadvokasi dari sisi ini, berargumen bahwa efek yang ditimbulkan dari konferensi pers tidak seperti yang dikatakan Saor Siagian yang sampai "mencekam luar biasa", atau berargumen seperti yang dikatakan Dahnil bahwa Pak Prabowo sebagai warga biasa tidak punya instrumen seperti instrumen intelijen untuk memverifikasi secara lebih dalam apakah yang dikatakan Ratna Sarumpaet benar, maka Prabowo sudah maksimal usahanya untuk verifikasi karena sudah mendengar sendiri dari yang bersangkutan dan melihat sendiri bukti "lebam-lebam" pada wajah Ratna Sarumpaet.
Sangat memungkinkan juga argumen-argumen itu kuat dan akhirnya Prabowo CS tidak bisa dijerat Pasal 14 Ayat 2, sangat mungkin. Namun tentunya proses pemeriksaan akan sangat wajar jika dilakukan untuk memastikan itu. Sayangnya tidak ada yang mengambil angle ini yang memang berdasarkan fakta bahwa Prabowo menyebarkan berita hoaks, tapi Budiman malah tetap menekankan bahwa Prabowo sudah merencanakan. Walau kecurigaan ini cukup beralasan, tapi tentu saja setiap tudingan yang tanpa bukti bisa dengan mudah ditangkis oleh Dahnil.
Banyak juga pendukung kubu Prabowo yang menggiring opini dengan mengalihkan bahwa "bagaimana dengan Jokowi? Bukankah dia juga sering berbohong? Berarti bisa ditangkap juga dong? " Ya, bisa saja. Saya setuju-setuju saja, semua orang yang terbukti menyebarkan kabar bohong atau hoaks, dijerat, tidak peduli itu Jokowi, Prabowo, Fadli Zon, Rocky Gerung, Mahfud M.D, Megawati, atau Thanos sekalipun, jika memang melakukan kesalahan ya patut-patut saja dihukum, karena semua orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
Sarumpaet Hanya Teaser
Kubu lawan boleh jadi sedang kesandung, satu peluru berhasil dihindari, tapi itu bukan alasan kubu petahana untuk haha-hihi. Mereka harus mengambil pelajaran dan catatan sebanyak-banyaknya dari kasus ini, salah satunya adalah betapa kubu lawan sudah siap kuda-kuda untuk menyerang menggunakan jurus yang bisa saja sangat mematikan: isu HAM.
Boleh jadi keran isu SARA sudah ditanggulangi dengan pengangkatan K.H Ma'ruf Amin, tapi tentu saja ini hanya akan membuka keran-keran baru serangan dari kubu lain. Selama ini yang terlihat adalah kubu nol dua selalu mempersiapkan amunisi untuk mengganjal dengan isu ekonomi, tapi ternyata kasus hoaks ini bagaikan teaser yang memperlihatkan bahwa kubu Prabowo pun punya ancang-ancang untuk menyerang dari sisi isu HAM.Â
Pada pemilu 2014, mungkin isu HAM adalah kelemahan terbesar Prabowo, tapi dalam pemilu 2019 ini, ketika lima tahun kepemimpinan Jokowi tidak terlihat keseriusan pemerintah memenuhi janji kampanye-nya untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu dan banyaknya pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi bahkan sempat disorot oleh dunia internasional, bisa jadi isu HAM lebih mengerikan untuk Jokowi dibandingkan untuk Prabowo pada perhelatan nanti.
Kita lihat saja bagaimana kedua kubu saling mengeluarkan dan menangkis jurusnya, tentunya sambil memberikan edukasi politik yang positif kepada masyarakat. Namun jika gaya bicara para politikus masih berkutat di ngotot-ngototan, retorika kosong, metafora yang membingungkan, hiperbola yang lebay, dan asal jeplak, kok ya rasanya malas untuk nonton debat-debat di TV. Lebih baik nonton sinetron Dzolim.