Pagi itu, wajah Pak Subarja berusaha kalem seiring langkah memasuki kelas. Dari rumah ia telah membulatkan tekad, alih-alih mengajar seni budaya seperti biasanya, ia akan menggunakan jam pelajaran yang dimilikinya untuk mengorek akar masalah dari peristiwa bersejarah yang terjadi sehari sebelumnya di sekolah kami: tawuran. Ini adalah tawuran perdana sekolah kami, sekolah SMP swasta islam yang baru berdiri empat tahun.Â
Saya yakin tidak ada satupun para guru muda dan idealis ini yang menyangka ketika mereka memutuskan untuk mengajar di sekolah yang memiliki rutinitas sholat dhuha setiap hari dan menjadikan hafalan juz 30 sebagai syarat kelulusan ini, mereka akan menghadapi masalah kenakalan pelajar sekelas tawuran. Kekagetan itu sangat tergambar dari ketidaksiapan para guru untuk menentukan hukuman bagi para siswa yang terlibat.Â
Namun Pak Subarja menyadari, memahami akar permasalahan jauh lebih penting daripada sekedar memberi hukuman. Dan ia datang ke tempat yang tepat untuk bertanya: Kelas 8 Putra, kelas saya, kelas dan angkatan yang paling bertanggungjawab memulai kesumat ini.
"Saya tidak tertarik dengan kronologi tawurannya, yang saya ingin tahu adalah bagaimana awalnya kenapa bisa terjadi seperti itu? Masalahnya apa? Ceritakan ke saya", kata Pak Subarja tegas, matanya menyisir ruangan dari balik kacamata.
"Awalnya dari saya, Pak", jawab Tompel sambil berdiri.
"Ya Tompel, coba ceritakan bagaimana awal masalahnya", kata Pak Subarja, masih tenang, bersiap menyimak.
Saya pun tak kalah penasarannya dengan Pak Subarja karena saya sendiri sebenarnya tidak tahu awal masalah yang membuat tawuran itu terjadi.
"Jadi, waktu itu saya lagi main sama temen saya deket rumah, dia anak SMP X"
"Terus?"
"Terus dia bilang, 'Wey, Pel. Sekolah lu ntar gue serang, lah'"
"Terus kamu bilang apa?"
"Yaudah terserah", jawab Tompel.
Pak Subarja terdiam sejenak, berharap ada kelanjutan di balik kalimat Tompel barusan. Setelah menyadari bahwa hanya itu jawabannya, ia pun menanggapi. Dengan suara tinggi kali ini, tak mampu lagi menyembunyikan kekesalannya.
"Terserah!? Kamu bilang terserah!?"
"Iya, Pak"
"Kamu mikir apa sih? Terus kalau ada orang yang bilang 'wey besok rumah lu gue bakar lah', kamu bakal bilang terserah juga!?"
"Ya enggak, Pak"
"TERUS KENAPA PAS SEKOLAH KAMU MAU DISERANG KAMU BILANG TERSERAH?", Pak Subarja benar-benar geram. Namun bagaimanapun rasa bingung yang genuine jelas lebih mendominasi daripada amarahnya.
"Ya gitu, Pak".
Tentu saja Pak Subarja tidak puas dengan jawaban Tompel. Niatnya untuk memahami jalan pikiran anak-anak muda yang dibinanya masih tidak terpenuhi karena ia masih tidak mengerti barang setitikpun. Namun mau bagaimana lagi, memang begitulah kejadiannya. Peristiwa yang bagi pihak sekolah adalah aib yang sangat besar nan fadihat tersebut, diawali hanya dari perkara yang keterlaluan sepelenya:
Obrolan bodoh di sore hari antara dua orang.
Meski Pak Subarja mendapat momen yang kalau kata anak sekarang "udah gak paham lagi dah gue!", tapi waktu itu saya sedikit banyak paham. Toh ketika Tompel pertama kali memberi tahu bahwa sekolah kami akan "tempur dengan SMP X", kami tidak mempertanyakan masalahnya apa. Pembicaraan langsung mengarah kepada persiapan untuk menghadapi hari historis tersebut. Bahkan bisa dibilang hampir antusias, layaknya momen tersebut telah dinanti-nantikan sejak lama.
Kami tumbuh di lingkungan dimana grafiti-grafiti rivalitas sekolah adalah pemandangan sehari-hari. Pada tembok-tembok perbatasan antara perumahan dan kampung-kota, di belakang ruko-ruko, dan di rolling-door kios-kios, lazim ditemui tulisan grafiti sekolah A yang sudah ditumpuk gambar zakar dengan warna pilox lain oleh sekolah B, musuhnya. Begitu juga sebaliknya.
"STM C MENCARI MUSUH BARU"
Begitu bunyi grafiti baru itu, ditulis salah seorang siswa STM tersebut saat merayakan hari ulangtahun sekolahnya. Mencari musuh tak ubahnya seperti membuka lowongan pekerjaan di jobstreet.
Kami hafal peta kekuatan sekolah-sekolah di wilayah kami: SMA A musuhan dengan STM B, STM C musuhan dengan STM D, dan seterusnya. Kami mengikuti perkembangan tawuran-tawuran mereka layaknya mengikuti perkembangan klasemen liga sepakbola.
"Wah, SMA C tadi diserang sama STM G". Tawuran layaknya sparing olahraga.
Apakah penyerangan tersebut ada pemicunya? Tidak selalu. Ini masalah identitas. Kalau kamu masuk SMA A, maka kamu otomatis menjadi musuh STM B, dan sebaliknya, STM Â B menjadi musuhmu. Tidak peduli apakah kamu benar-benar punya urusan dengan bocah dari STM B, pokoknya mereka semua musuh. Setiap yang memakai seragam STM B adalah musuh. Begitulah pakemnya, begitulah rumusnya, dan akan selalu seperti itu.
Sebagai sekolah yang baru seumur jagung, mungkin identitas itulah yang ingin Tompel bangun dengan mencari "musuh", walaupun sejatinya tidak ada masalah, dendam, atau urusan apa-apa dengan anak dari SMP X itu. Tawuran for the sake of tawuran. Harapannya, sekolah kami akan punya identitas sebagai sekolah yang bermusuhan dengan sekolah lain.
Tentu saja orang dewasa dan rasional seperti Pak Subarja tidak akan paham pola pikir konyol semacam ini. Kamipun tidak mengharapkan beliau paham. Namun yang jelas bagi kami saat itu, ini adalah "hukum alam" yang masuk akal.
Ketidak-konek-an generasi tua seperti Pak Subarja dalam memahami akar permasalahan remaja ini juga saya lihat di acara Mata Najwa 26 September 2018 yang bertema #DukaBolaKita.Â
Membicarakan masalah suporter sepak bola yang untuk kesekian kalinya harus merenggut nyawa, acara tersebut menghadirkan banyak pemangku kepentingan dalam persepakbolaan Indonesia mulai dari Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), Ketua Umum Jakmania, Ketua Viking Frontline, Komisaris PT Persib, Dirut Persija, Badan Olahraga Professional Indonesia (BOPI), Forum Diskusi Suporter Indonesia, Koordinator Save Our Soccer (SOS), dan Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI).Â
Sayangnya perbincangan tersebut seperti hanya menjadi ajang berbicara mereka secara bergantian mengucapkan bela sungkawa dan membela diri bahkan seakan-akan tak menelurkan hasil apapun. Selain karena tidak ada solusi yang benar-benar konkret---walaupun Mbak Nana berkali-kali menekankan pada kata "konkret"---yang membuat Mata Najwa malam itu terasa kopong adalah karena para narasumber kerap melenceng dari akar permasalahan.
Porsi pembicaraan berkali-kali bergumun di sekitar masalah hukuman, padahal saya rasa semua pihak juga sudah tahu, akar permasalahannya bukan pada hukuman yang kurang tegas, melainkan pada suporter akar rumput yang sering kali tidak terdata dan tidak bisa dikendalikan kelakukannya.
Sebenarnya permasalahan kekerasan suporter ini sebelas dua belas dengan permasalahan tawuran pelajar. Keduanya juga memiliki karakteristik yang sama yakni pelaku kekerasan kebanyakan adalah remaja putra yang masih emosional dan irasional, kekerasan sering kali dilakukan secara berkelompok alias keroyokan, dan terdapat konsep identitas "Us VS Them" yang sangat kental. Maka untuk dapat menemukan solusi yang tepat, langkah pertama adalah mencoba memahami pola pikir mereka yang sering kali terlibat perkara ini dan mencoba melihat sesuatu dari perspektif mereka.
Mata Najwa sudah menempuh langkah apik dengan menghadirkan langsung dua suporter dari daerah perbatasan yang kerap kali bergesekan, bahkan juga menyembunyikan identias keduanya. Saya pikir dengan disembunyikannya identitas mereka, mereka bisa dengan bebas berbicara serta bercerita apa yang terjadi dari kacamata mereka, apa yang mereka pikirkan, bahkan mungkin sedikit certia di "medan perang", sehingga bisa memberi sedikit gambaran kepada generasi tua yang ada di studio bagaimana cara menyelesaikan permasalahan di akar rumput tersebut.Â
Sayangnya Mbak Nana tidak menggali ke sana, pembicaraan dengan kedua narasumber ini terlalu sebentar dan Mbak Nana sudah luluh hanya dengan dongeng indah tentang persahabatan Viking-The Jak di masa lampau yang menuai tepuk tangan penonton, lalu kembali lagi pada narasumber-narasumber di studio yang duduk di menara gading. Ironi sekali ketika usaha mencari solusi konkret untuk masa depan harus tergerus oleh tepuk tangan nostalgia masa lalu yang indah.
Padahal setidaknya ada dua clue yang diceritakan oleh suporter yang disamarkan identitasnya itu yang bisa membuat kita memahami jalan pikiran mereka, yang semakin menegaskan bahwa permasalahan ini mirip dengan permasalahan tawuran pelajar. Yang pertama, narasumber suporter Jakmania menyebut bahwa mereka biasa memakai atribut seperti jersey tidak hanya pada saat menjelang pertandingan, melainkan juga di keseharian. Hal itu akhirnya kerap menjadi masalah ketika berpapasan dengan suporter lawan.Â
Jadi pertikaian bisa terjadi bukan hanya karena ada permasalahan yang memicunya, tapi bisa juga hanya karena melihat orang memakai atribut tim yang mereka anggap musuh, tidak peduli apakah orang itu benar-benar punya masalah atau tidak, pokoknya musuh, libas. Ini adalah konsep identitas yang ada juga dalam permasalahan tawuran pelajar. Saya The Jak, musuh The Jak adalah Viking, maka saya harus menyerang Viking karena Viking adalah musuh. Sekali lagi, itulah pakemnya, itulah rumusnya.
Ini sebabnya sering kali kekerasan terjadi di luar stadion, di jalan, bahkan saat tidak ada pertandingan sekalipun, hanya karena "melihat musuh". Seperti ketika teman SMP saya yang lain, Bolang, kakinya terkoyak kena bacok Benteng Viola (Suporter Persita) karena memakai syal The Jak. Bahkan identifikasi musuh ini bukan hanya lewat atribut klub yang bisa dilepaskan begitu saja seperti jersey, tapi sering juga terjadi hanya karena "ngomong betawi", "ngomong sunda", atau dari plat nomor kendaraan sekalipun.Â
Balas-balasan merusak mobil dengan plat nomor kendaraan dari kota musuh bukan sesuatu yang asing. Ketika tinggal di Malang, teman-teman saya yang asal Surabaya akan stay di rumah seharian setiap ada konvoi Aremania daripada mengambil resiko kendaraan plat L nya dirusak. Meskipun mereka bukan Bonek, tapi plat L nampaknya sudah cukup untuk membuat mereka diidentifikasi sebagai musuh.
Maka dari itu, hukuman-hukuman berupa larangan bertanding, larangan menonton di stadion, atau bahkan pembubaran klub tidak akan bisa menyelesaikan akar permasalahan identitas ini, karena mau ada pertandingan atau tidak, selama ada yang bisa diidentifikasi sebagai "musuh" melalui atributnya---yang dipakai tidak hanya menjelang pertandingan namun juga sehari-hari---maka kekerasan akan tetap bisa terjadi atas nama identitas.
Ini sebenarnya juga masih terkait dengan clue kedua yang diucapkan suporter Jakmania di Mata Najwa yakni, "jika diejek, itu masalah harga diri".
Bagi remaja terutama remaja laki-laki yang sedang aktualisasi diri dengan hormon yang meletup-letup, harga diri memang di atas segalanya. Melakukan hal yang membahayakan nyawa jadi terjustifikasi demi harga diri. Irasional? Memang, tapi begitulah paham mereka. Setiap melihat sekelompok suporter yang membawa senjata membajak truk untuk menonton pertandingan, saya yakin beberapa dari mereka tidak peduli akan jalannya pertandingan tersebut.Â
Mau klubnya kalah atau menang, jadi juara atau tidak, degradasi atau tidak, didenda atau tidak, yang penting mereka tetap bisa memiliki identitas diri sebagai bagian dari komunitas suporter yang tidak boleh diusik harga dirinya oleh pihak musuh. Di dalam kepala mereka, identitas diri itu akan kian kuat tidak hanya ketika mereka mendukung klubnya bertanding di stadion, melainkan ketika mereka membela harga diri dengan bertempur dengan suporter musuh.
Kembali lagi, pada akhirnya hukuman-hukuman yang bersifat denda, degradasi, diskualifikasi, bahkan pembubaran klub, tentu tidak efektif membuat efek jera bagi mereka-mereka yang menganggap tawuran itu sendiri sebagai olahraganya dan sarana membela klubnya.
Jadi begitulah kira-kira keadaan di akar rumput yang sayangnya jarang dipahami oleh para orang tua pemangku kepentingan di atas. Lalu bagaimana solusinya? Tidak ada solusi lain untuk menyelesaikan akar masalah ini selain pembinaan, pembinaan, dan pembinaan. Coba ditelisik, kira-kira apa perbedaan para bapak-bapak dan mas-mbak suporter yang duduk di acara Mata Najwa kemarin dengan teman-teman suporter di lapangan sehingga perilakunya juga berbeda?Â
Jawabannya adalah pendidikan dan lingkungan. Kedua hal inilah yang tentunya membentuk perilaku para suporter dan kedua hal ini bisa dibentuk melalui pembinaan suporter. Harus ada program pembinaan serius yang dirancang sedemikian rupa, mulai dari steering committee sampai operational committee di lapangan yang membina suporter-suporter akar rumput ini. Mari wadahi mereka, rangkul mereka, ajak berkegiatan, biarkan mereka berkenalan dengan dedengkot-dedengkot suporter senior yang sama fanatiknya namun sudah dewasa dan rasional. Ajarkan mereka bahwa saling ejek itu biasa, bahwa harga diri akan hancur justru ketika melakukan tindakan yang memalukan nama komunitas dan klub.
Pembinaan suporter memang bukan solusi yang mudah dan instan seperti hanya sekedar memberi hukuman atau meningkatkan personel keamanan, tapi hanya itulah solusi jangka panjang yang bisa sedikit demi sedikit menyelesaikan akar permasalahan suporter. Hukuman bukannya tidak dibutuhkan sama sekali. Hukuman tegas tetap harus diberlakukan untuk membuat klub semakin berkomitmen membina suporternya.Â
Dibutuhkan juga peraturan PSSI yang mewajibkan setiap klub memiliki program pembinaan yang komprehensif, yang segala kegiatannya jelas dan bisa dilaporkan ke PSSI secara rutin sebagai bentuk komitmen tersebut. Bagi media dan publik, menghilangkan istilah "oknum" dalam menyebut pelaku suporter yang melakukan kekerasan juga bisa membuat klub lebih merasa bertanggungjawab terhadap suporter-suporternya.
Saya mengerti alasan Mbak Nana tidak berlama-lama di kedua narasumber tersebut. Ada kekhawatiran jika sentimen kebencian dan permusuhan malah keluar dan tersiarkan di TV nasional. Sebab itu pula Mbak Nana tidak masuk ke detil penyebab permusuhan The Jak dan Viking di awal tahun 2000an.
Namun ketidakpercayaan terhadap suara akar rumput ini jangan-jangan juga adalah salah satu sumber masalahnya.
Jika membicarakan agenda duduk bareng antar semua stakeholder sepakbola untuk mencari solusi, apakah suara mereka yang di akar rumput juga termasuk dalam agenda tersebut? Telinga bapak-bapak para petinggi sepakbola juga harus turun ke pengkolan-pengkolan jalan tol, mencoba memahami mereka yang menggenggam batu di tangan bersiap melempari bus tim musuh, atau ke sudut-sudut sel LP anak, mencoba memahami kenapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan.Â
Karena suporter bukan hanya para pimpinannya di atas yang bisa berpikir jernih---sehingga hanya dengan membuat nota perdamaian, masalah bisa dianggap selesai---tapi juga mereka yang di bawah, yang masih menggebu-gebu dan cenderung reaktif, irasional, dan emosional. Sungguh aneh jika sebagian besar kasus disebabkan oleh suporter dengan demografi yang kedua ini, tapi yang diajak berdiskusi menyelesaikan masalahnya adalah suporter yang di atas saja.
Mungkin bukan di TV nasional jika beresiko menimbulkan efek negatif, tapi yang jelas mereka harus didengarkan. Mendengarkan suara para darah muda ini adalah langkah awal untuk memahami perspektif mereka, dan memahami perspektif mereka adalah jalan untuk membuat solusi yang tepat sasaran.
Kemungkinan besar, bapak-bapak tetap tidak akan mengerti pola pikir bodoh mereka, alasan-alasan maha sepele mereka, dan proses pengambilan keputusan mereka. Namun seperti Pak Subarja, setidaknya ada tekad untuk mengetuk pintu kelas pagi itu. Dan mencoba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H