"Yaudah terserah", jawab Tompel.
Pak Subarja terdiam sejenak, berharap ada kelanjutan di balik kalimat Tompel barusan. Setelah menyadari bahwa hanya itu jawabannya, ia pun menanggapi. Dengan suara tinggi kali ini, tak mampu lagi menyembunyikan kekesalannya.
"Terserah!? Kamu bilang terserah!?"
"Iya, Pak"
"Kamu mikir apa sih? Terus kalau ada orang yang bilang 'wey besok rumah lu gue bakar lah', kamu bakal bilang terserah juga!?"
"Ya enggak, Pak"
"TERUS KENAPA PAS SEKOLAH KAMU MAU DISERANG KAMU BILANG TERSERAH?", Pak Subarja benar-benar geram. Namun bagaimanapun rasa bingung yang genuine jelas lebih mendominasi daripada amarahnya.
"Ya gitu, Pak".
Tentu saja Pak Subarja tidak puas dengan jawaban Tompel. Niatnya untuk memahami jalan pikiran anak-anak muda yang dibinanya masih tidak terpenuhi karena ia masih tidak mengerti barang setitikpun. Namun mau bagaimana lagi, memang begitulah kejadiannya. Peristiwa yang bagi pihak sekolah adalah aib yang sangat besar nan fadihat tersebut, diawali hanya dari perkara yang keterlaluan sepelenya:
Obrolan bodoh di sore hari antara dua orang.
Meski Pak Subarja mendapat momen yang kalau kata anak sekarang "udah gak paham lagi dah gue!", tapi waktu itu saya sedikit banyak paham. Toh ketika Tompel pertama kali memberi tahu bahwa sekolah kami akan "tempur dengan SMP X", kami tidak mempertanyakan masalahnya apa. Pembicaraan langsung mengarah kepada persiapan untuk menghadapi hari historis tersebut. Bahkan bisa dibilang hampir antusias, layaknya momen tersebut telah dinanti-nantikan sejak lama.