Peran Sentral Sumber Daya Manusia Perempuan dalam Industri Sigaret Kretek Tangan (SKT) Indonesia
Karya: Ramses Parningotan Panjaitan
Catatan: Tulisan ini dibuat untuk dilombakan pada lomba yang di adakan Amti.
Indonesia dikenal sebagai negara konsumen rokok kretek terbesar ketiga di dunia, dengan banyak perusahaan kretek yang berkembang pesat di negara ini. Keberhasilan industri kretek ini menciptakan dampak positif dalam menyerap tenaga kerja, khususnya buruh perempuan. Meski fakta ini mencerminkan kesuksesan industri, namun pada saat yang sama, juga menimbulkan sindiran terhadap kondisi buruh perempuan di perusahaan kretek yang sebagian besar didominasi oleh mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, kesuksesan industri kretek telah berkembang dengan pesat, memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Keberhasilan ini tidak hanya dipengaruhi oleh tenaga kerja dan bahan baku yang mendukung produksi kretek, tetapi juga memberikan dampak langsung pada perusahaan dan para buruh yang bergantung pada industri ini untuk kehidupan mereka.
Keberadaan industri kretek, terutama di pemukiman yang banyak, diapresiasi oleh masyarakat karena mampu menyerap tenaga kerja, khususnya perempuan, yang pada gilirannya membantu perekonomian keluarga. Selain memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, industri kretek juga menjadi penyumbang utama pendapatan negara melalui pajak cukai yang diterapkan pemerintah.
Awalnya, peredaran kretek terbatas di wilayah Kudus, tetapi dengan cepat disenangi di daerah-daerah lain. Produksi kretek telah menciptakan fenomena di mana pedagang kecil dan pabrik rumahan berlomba-lomba untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat. Hal ini menciptakan evolusi dalam golongan pengusaha kretek, dari pengusaha rumahan hingga pabrik besar.
Pada tahun 1914, pabrik kretek milik Nitisemito di Kudus pernah mempekerjakan 15.000 orang dalam produksi kretek. Kesuksesan pioner ini memotivasi usahawan lain untuk mengikuti jejaknya, dan antara tahun 1912-1937, jumlah pabrik kretek tumbuh pesat, tidak hanya di Kudus, tetapi juga di berbagai daerah di Jawa.
Perkembangan kretek membawa dampak sistematis pada masyarakat sekitar. Pada tahun 1920, diterapkan sistem abon untuk meningkatkan jumlah produksi, di mana buruh luar pabrik diberi tanggung jawab untuk menggulung rokok di rumah mereka. Namun, sistem ini tidak bertahan lama dan digantikan oleh sistem pabrik yang lebih efisien.
Pada tahun 1963, buruh perempuan menjadi primadona dalam produksi kretek karena ketrampilan dan kerajinan mereka, serta kesabaran dalam proses pembuatan rokok. Faktor-faktor ini membuat perempuan semakin terlibat dalam industri kretek, tidak hanya membantu suami mereka tetapi juga mendapat peran setara dengan laki-laki.
Industri kretek tidak hanya menciptakan mata pencaharian bagi para buruh di pabrik, tetapi juga memengaruhi berbagai sektor terkait, seperti petani tembakau dan cengkeh, pemetik daun tembakau, pekerja di perusahaan percetakan dan angkutan, dan banyak lagi. Sementara kesuksesan industri kretek memberikan dampak positif, perlu juga diperhatikan kondisi buruh, terutama perempuan, yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan hak yang setara.