Terlepas dari masifnya perkembangan peradaban kehidupan manusia di dunia yang telah kita rasakan hingga saat ini, pada faktanya modernisasi tetap bergantung kepada lingkungan serta kelompok masyarakat yang berhak memutuskan untuk menerima ataupun menolak pengaruhnya.Â
Ketika fenomena globalisasi dengan berbagai produknya yang menawarkan perkembangan teknologi seperti alat elektronik, sarana transportasi, hingga pengenalan berbagai macam jenis makanan lezat dari penjuru dunia, terdapat beberapa kelompok masyarakat yang terisolasi dari kemajuan-kemajuan tersebut.Â
Berbeda dengan masyarakat modern yang berusaha menemukan model pakaian atau baju terbaik untuk tubuhnya dan bahkan secara tidak langsung menjadikan barang-barang tersebut sebagai identitas atau label diri, terdapat suku terpencil yang tidak mengenal estetika tersebut sehingga memilih untuk bersatu dengan alam tanpa berpakaian atau beralas kaki.
Ketika masyarakat modern dengan mudahnya memesan makanan untuk dapat segera disantap, terdapat suku asing di luar sana yang masih memerlukan ketangkasan untuk berburu hewan dan mengolahnya menjadi makanan.Â
Selain itu, ketika isu-isu internasional seperti ancaman bom nuklir menggemparkan banyak warga dunia, suku-suku asing tersebut pada sisi lain hanya melanjutkan hidupnya seperti biasa tanpa tahu-menahu terkait permasalahan apa yang sedang terjadi di luar sana.
Berangkat dari perbedaan-perbedaan nyata tersebut, dapat diketahui bahwasanya terdapat sekelompok manusia yang menjalani hidupnya seolah-olah bersembunyi dari gemerlapnya dunia modern.Â
Hidup di celah-celah bumi terpencil yang tidak mudah dijangkau, suku-suku tersebut kemudian menciptakan dunianya sendiri dan aturan-aturannya sendiri tanpa berdampingan maupun terikat dengan aturan internasional seperti yang kita pahami saat ini.Â
Meskipun diyakini terdapat banyak jenis suku yang menjalani hidup seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat salah satu suku primitif dengan keseharian yang sama sekali berbeda dengan warga negara dunia pada umumnya, yaitu suku Huaorani.Â
Berasal dari Amazon yang memang dipercaya sebagai wilayah dengan suku terpencil paling banyak, suku Huaorani menempati wilayah di Ekuador yang bersebelahan dengan perbatasan Peru (Brady, 1997). Keberadaan suku Huaorani di lebatnya hutan Amazon dipercaya telah berlangsung selama seribu tahun dengan tradisi-tradisi murninya yang diketahui tetap dilaksanakan hinga saat ini.Â
Walaupun eksistensi suku Huaorani bukan lagi menjadi rahasia dunia, pemerintah setempat memutuskan untuk melindungi tempat tinggalnya mengingat suku Huaorani juga menjaga kelestarian hutan Amazon sehingga sebisa mungkin tidak mengancam keberlangsungan suku tersebut.
Ketika beberapa suku yang ada telah mengenal pakaian meskipun memiliki keunikannya masing-masing, suku Huaorani seolah-olah menggambarkan suku pedalaman sesungguhnya yang tidak mengenal pakaian sehelai pun untuk tubuh mereka. Selain itu, suku Huaorani juga tidak mengenal alas kaki meskipun mereka melangsungkan kehidupannya di hutan belantara.Â