"Ambillah misalnya Leimena ... saat bertemu dengannya aku merasakan rangsangan indra keenam, dan bila gelombang intuisi dari hati nurani yang begitu keras seperti itu menguasai diriku, aku tidak pernah salah. Aku merasakan dia adalah seorang yang paling jujur yang pernah kutemui". (Bung Karno - Penyambung Lidah Rakyat, seperti dituturkan kepada Cindy Adams)
Siang itu ruang gereja GBKP Keb. Lama dipenuhi sesak dengan oleh orang-orang yang memiliki hubungan dengan Om Yo, demikian pemilik nama lengkap Dr. Johannes Leimena akrab dipanggil oleh sahabat-sahabatnya. Hari itu ada Vivekananda Leimena yang merupakan putra ke-enam Om Yo. Ada Sabam Sirait, politisi senior PDI-P yang merupakan sahabat beliau semasa aktif sebagai anggota DPA dan juga di organisasi yang didirikannya, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Ada Matius Ho, yang merupakan direktur eksekutif dari Leimena Institute. Selanjutya, ada Inget Sembiring, seorang tokoh GBKP yang juga merupakan "murid" dari Om Yo di GMKI. Dan, ada kami kumpulan anak muda dan orang tua yang kagum, bangga dan hendak belajar dari pribadi yang sederhana yang pernah menjabat 7 kali sebagai pejabat presiden Republik Indonesia (RI) ini.
Siapa Leimena?
Inilah sesungguhnya yang menjadi alasan kegiatan diskusi dan bedah buku, bertema "Johannes Leimena - Negarawan Kristen Sejati" dilakukan oleh Permata Kebayoran Lama (KBL). Menangkap momentum 17 Agustus 2011, usai kebaktian kegiatan ini dilakukan untuk mengenal kontribusi dan pemikiran Om Yo terhadapa Bangsa Indonesia dan Kekristenan. Mungkin bukti yang paling nyata dari kontribusi itu bagi kita sampai hari ini adalah pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). Kedekatannya dengan rakyat kecil dan berdasarkan apa yang dilihat sehari-hari ketika melakukan pelayanan kesehatan, Om Yo melihat pentingnya pelayanan kesehatan yang dekat dengan rakyat. Darisanalah puskesmas ada sampai hari ini. Setelah penantian yang panjang “mutiara dri timur” ini diangkat menjadi pahlawan nasional pada tahun 2010 melalui Keputusan Presiden No 52 TK/2010.
Beberapa saat sebelum acara dimulai saya ditelpon oleh Pak Sabam Sirait, yang menyampaikan tentang kondisi kesehatan beliau yang kurang baik namun ingin sekali datang untuk menyampaikan catatan-catatan pribadi beliau tentang Om Yo. Akhirnya setelah berdiskusi, dia memastikan datang dengan permintaan agar menjadi pembicara pertama. Dalam usianya yang tidak lagi muda, dengan tangan yang setengah bergetar Pak Sabam bercerita tentang kesederhanaan dan kejujuran Leimena. Beliau menyampaikan bahwa Om Yo juga pernah bohong dan tidak selamanya jujur, waktu itu ia dilarang dokter memakan nasi goreng, namun beliau tetap mengambil nasi goreng dengan menaburi nasi putih di atasnya. Hal ini menurut Pak Sabam terjadi dalam suatu makan siang, dan sontak kami pun tertawa semua. Beliau menyampaikan pada suatu waktu ketika menjadi pejabat presiden RI, Leimena ada tugas kenegaraan ke Makassar, dimana di saat yang bersamaan dilangsungkan kongres GMKI di Menado. Saat itu banyak kader GMKI datang untuk dibiayai dan difasilitasi berangkat ke Menado, namun Leimena menyatakan bahwa gajinya sebagai pejabat negara tidak cukup untuk itu. Kemudian beliau menawarkan agar mereka menumpang pesawat kenegaraan yang digunakan Leimena ke Makassar dan selanjutnya mereka melanjutkan sendiri ke Menado. Saya tertegun mendengar cerita tersebut, sesuatu yang sangat langka di masa sekarang ini.
Pak Sabam memang seorang penutur yang handal, beliau membuat kami dengan seksama menyimak catatan beliau. Pak Sabam menyampaikan bahwa hanya satu kali dari semua kabinet perdana menteri yang pernah ada pada masa Soekarno beliau tidak menjabat sebagai menteri, yakni ketika partai Masyumi berkuasa. Seperti yang kita tahu Om Yo adalah menteri kesehatan sebanyak 10 kali dari kabinet Amir Sjarifuddin sampai Burhanuddin Harahap dan menjabat dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak masa kabinet Sjahrir II (1946) hingga Kabinet Dwikora II (1966).
Sebagai putra kandung Om Yo, Pak Nanda Leimena bercerita betapa Leimena adalah sosok yang sangat sederhana. Begitu pulang ke rumah dia langsung mengganti pakaiannya dengan sarung dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Beliau adalah pribadi yang juga disiplin. Sebagai seorang dokter dia sangat berdedikasi dengan panggilannya. Suatu ketika dalam peristiwa bersenjata di Lengkong, Tangerang, Om Yo habis-habisan memberikan pelayanan kesehatan kepada pejuang yang terluka. Pada saat itu Om Yo menjadi kepala rumah sakit di Tangerang. Ketika pulang ke rumah pada saat membersihkan tas peralatan medis beliau, istri Om Yo masih menemukan ada sisa-sisa darah dan daging di peralatan medis tersebut. Menurut cerita Pak Nanda, di rumah sakit ini jugalah Om Yo bertemu dan selanjutnya menjadi dekat dengan Bung Karno. Suatu ketika Bung Karno melakukan perjalanan dan kelelahan sehingga bersitirahat di rumah sakit Tangerang, saat itu Om Yo memijat dan merawat Bung Karno. Setelah itu mereka menjadi sahabat.
Ketika ada peserta yang bertanya tentang spiritualitas Om Yo, Pak Nanda bercerita tentang bagaimana Tuhan menuntun hidup ayahnya. Sehingga melalui buahnya kita bisa melihat kualitas kekuatan akar dan pertumbuhan keimanan seseorang. Ketika hendak merantau ke Jakarta, keluarga selalu menentang Leimena yang masih remaja untuk pergi, sampai suatu waktu ada anggota keluarga yang hendak berangkat dari Ambon ke Jakarta, Om Yo mengantar sampai pelabuhan dan begitu mesin kapal dinyalakan Om Yo lari dan naik ke kepal. Sejak itulah perjalanan dan perjuangannya dimulai.
Giliran Pak Inget Sembiring yang bercerita tentang Om Yo yang beliau kenal. Ketika menjadi pengurus pusat di GMKI, suatu hari di tahun 1965 ketika prahara G30 September terjadi pengurus pusat datang ke rumah Pak Leiman untuk berdiskusi dan silaturahmi. Pak Inget mengatakan, beliau dan teman-teman sengaja tidak sarapan dari rumah karena membayangkan ”sarapan besar” di rumah Pak Leimena. Namun, tiba disana mereka disambut di ruang makan dan disguhkan singkong rebus. Pak Inget mengenang itulah kesederhanaan seorang Om Yo, sederhana dalam kata dan juga laku sehari-hari. Memang pertemuan hari itu sekaligus adalah pertemuan nostalgia antara para pembicara, antara Pak Sabam dan Pak Inget dan Pak Nanda, sehingga mereka menyisipkan cerita masa lalu yang membekas ketika ber-GMKI.
Institute Leimena dan Diskusi Warga (bertanggung jawab)
Kekayaan pemikiran dan semangat sebagai warga negara bertanggung jawab yang secara konsisten dipaparkan dan ditunjukkan oleh Om Yo mendorong berdirinya Institute Leimena. Sebelumnya lembaga ini bernama Akademi Leimena, berperan sebagai sebuah ”think tank” di bawah PGI. Institute Leimena menjadi lembaga yang konsisten mendorong partisipasi warga gereja dalam memberikan kontribusi nyata bagi keutuhan dan pembangunan bangsa Indonesia melalui perannya masing-masing. Matius Ho mengawali presentasinya dengan menjelaskan sosok Leimena dan dilanjutkan dengan program-program yang sedang dikerjakan Institute Leimena.
Diantara sekian program yang dikerjakan oleh Institute Leimena, salah satu yang paling dekat dengan Permata dan GBKP adalah program ”diskusi warga”. “Diskusi Warga” adalah kelompok-kelompok kecil dimana orang-orang berkumpul untuk bersama-sama belajar menjadi warganegara yang efektif dan bertanggungjawab, serta siap untuk ikut memimpin perubahan di masyarakat untuk kesejahteraan bersama. Institut Leimena menyediakan bahan-bahan untuk Anda memulai “Diskusi Warga” bagi kelompok yang tertarik. Mengemuka dalam diskusi tentang kesamaan konsep perpulungen jabu-jabu (PJJ) dan PA Permata dengan diskusi warga, sehingga yang perlu dilakukan adalah memperkaya materi dan bahan dengan menggunakan yang disediakan oleh Institute Leimena. Di situs www.leimena.org, disediakan penjelasan dan bahan-bahan yang lengkap tentang apa dan bagaimana melakukan diskusi warga tersebut. Tampaknya jemaat GBKP sebagai bagian dari wara negara yang bertanggung jawab dapat memanfaatkan bahan dan dukungan yang disediakan ini.
Menanti Leimena-Leimena Baru
Sebuah inspirasi tentunya harus terus hidup dan semangatnya mampu membangkitkan keteladanan yang baru. Di usianya yang muda seiring dengan semangat zamannya kala itu, Leimena mewakili Jong Ambon pada tahun 1928 menyatakan sikap dan sumpahnya ke dalam sebuah gagasan yang bernama Indonesia (sumpah pemuda). Gagasan itu telah merdeka selama 66 tahun dan kita sebagai orang Kristen telah hidup di dalamnya. Kini kita kembali dihadapkan kepada situasi dimana ke-bhineka-an tidak lagi dianggap sebagai anugrah, muncul semangat dari kalangan tertentu untuk menjadikan bangsa ini menjadi satu warna saja di bawah hukum keyakinan tertentu. Peran dan tanggung jawab kita sebagai warga gereja kembali dipertanyakan. Bolehlah kita selalau ingat kepada perkataan beliau ”Dalam hal kecintaan kepada tanah air, orang Kristen tidak lah boleh kurang malahan harus lebih tinggi dan menjadi teladan bagi warga negara lainnya”.
Setiap kita bisa menjadi Leimena-leimana baru dengan peran dan pekerjaan kita masing-masing, mengijinkan Tuhan memakai kita dengan maksimal sebagai warga gereja, sekaligus warga negara yang penuh tanggung jawab. Sehingga perjuangan dan cita-cita Om Yo menjadi semangat yang senantiasa hidup dalam diri kita, khususnya dalam diri dan keseharian permata. Kira-kira demikianlah Pdt. Ratna Sriany menutup diskusi hari itu dengan doa.
Jan Ramos Pandia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H