Mohon tunggu...
Ramon Damora
Ramon Damora Mohon Tunggu... -

Penulis, Penikmat Terapi Sendawa, Jarang Menangis, Senang Tertawa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

BBM atawa Belajar Bahasa Manusia

19 November 2014   08:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:26 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Tentu tidak, Tuan. Toh menolak kenaikan harga BBM juga bukan lagi berarti menolak kenaikan harga dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 belaka. Menolak itu boleh diartikan sebagai bentuk menerima dengan trauma kolektif penolakan-penolakan: menolak pejabat korup, menolak subsidi tak tepat sasaran, menolak sistem yang tak cukup tangguh menghadang si kaya memborong minyak bersubsidi dengan mobil pelat merahnya, menolak si papa buang-buang energi demo ke jalan, padahal akan lebih baik jika ia memanfaatkan waktu untuk mengasah keterampilan, mengajak keluarganya berhemat, tidak konsumtif, menolak retorika provokatif politisi busuk, dan seterusnya.”

“Bingung, sumpah, aku mulai bingung. Raja harus dihormati posisinya, rakyat mesti dilindungi kenyamanannya. Bukankah ini hukum alam? Walaupun kita berada di dunia manusia, misalnya, hakikat jagat raya tetap meletakkan singa sebagai singa, Bung Kus sebagai Bung Kus.”

Ha-ha-haaa,” Bung Kus, yang rupanya aplikasi panggilan dari pelajaran bahasa egaliter raja singa kepada binatang tikus itu, sontak tak kuasa menahan gelak. Tubuh mungilnya terguncang-guncang. Mulut dan ekor tikusnya yang nyaris sama panjang mengilai ke sana-ke mari. “Kenapa kau tertawa?” hardik Raja Singa.

Ha-ha-ha. Ampun, Tuanku, ampun. Mohon Tuanku jangan sekali-kali bermimpi hidup penuh martabat di alam manusia. Ha-ha-ha. (Aduh, ya Tuhan, kenapa aku ini?). Ha-ha-ha. Maaf, Tuanku, di sana kita tak lebih dari sekadar majas pelampiasan sifat-sifat buruk mereka. Ha-ha. Hi-hiii. Di dunia manusia, maaf, hamba sedikit lebih terhormat dibanding Tuanku. Hamba masih dicaci dan dipuja sebagai tikus berdasi. Tapi, Tuanku, ha-ha-ha... (alamak, mati aku, mati aku) ha-ha-haaa…”

“Tapi aku apa, Tikus?

“Tidak, Tuanku, tidak akan mampu hamba mengatakan. Lebih baik hamba ngomong ke kambing saja bahwa dirinya selalu jadi kambing hitam di dunia manusia. Tetapi Tuanku…Tuanku teramat mulia untuk dijadikan istilah penyakit menular seksual. (Aduh, mati aku, kenapa aku ini) Ha-ha-haaa... (mampus aku,apakah aku baru saja menyebutnya?) Ha-he-haaa. Uogh.

“Apa kau bilang?” Craaaskkk! Kuku-kuku sang raja kembali menjejas cadas. Bala-kesateria yang lain, tanpa dikomando, telah terlatih memahami ekspresi raja yang seperti itu. Ya, ia tengah marah. Dan itu berarti siapapun yang membuat raja marah harus dihukum, meskipun pelakunya Kesateria Tikus, kompatriot mereka sendiri. Saat Tikus tampak mulai kewalahan dan sepasang mata tombak nyaris menikam jantungnya, Raja meloncat.

“Hentikan! Aku masih butuh dia.”

“Kenapa, Tuanku? Bukankah ia telah menghinamu dengan sebutan penyakit?” sela salah seorang kesateria.

“Biar, biarkan dia menjelaskan lebih dulu apa itu penyakit menular raja singa. Aku penasaran.”

Seluruh tubuh Kesateria Tikus kini menggigil basah dan bau pesing.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun