Mohon tunggu...
Bunga Ramona
Bunga Ramona Mohon Tunggu... -

Pengajar bahasa Indonesia. Penulis. Aktivis (mungkin).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Cerbung] Yes, I Will (Part 6)

30 Desember 2015   18:55 Diperbarui: 30 Desember 2015   18:55 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Welcome, Andi… finally datang juga lo ke sini sama Lulavi.”

“Asalamualaikum, Om Anto.” Ujar Lulavi mencium tangan Om Anto.

“Wasalam, Lulavi.” Om Anto terlihat kikuk.

“Waalaikumsalam jawabnya, Om.” Lulavi tersenyum.

“Eh, Nto, mana Berry?” Ayah mulai terlihat bersemangat.

“Ada di dalam. Makanya, ayo kalian masuk.”

Lulavi terus menundukkan kepala saat berjalan melewati taman rumah Om Anto. Ia tidak kuasa melihat banyaknya pasangan yang bergandengan tangan, berpelukan. Belum lagi perempuan-perempuannya banyak yang membuka aurat mereka. Sesekali, perempuan-perempuan itu pun memperhatikan Lulavi. Lulavi sudah biasa diperlakukan seperti ini. Kala menemani Ayah menonton konser pun Lulavi diejek oleh Berry.

Lulavi dan Ayah mulai memasuki ruang makan rumah Om Andi. Ruang makan yang sangat luas dan bagus. Om Andi memang kaya. Dari sekian banyak teman-teman Ayah, Om Andi-lah yang paling kaya. Maka, tak heran kalau banyak teman-teman Om Andi, termasuk Ayah, meminta pertolongannya.

“Lulavi… udah besar ternyata kamu, ya?” sumringah seorang wanita paruh baya bernama Tante Kina.

“Iya, tante. Tante apa kabar?” Lulavi mencium pipi kanan dan kiri Tante Kina.

“Baik. Duuh… Tante enggak nyangka kamu bakal secantik ini.”

“Iya, Ma. Dia sekarang cantik sekali. Cocok sekali untuk Berry.”

Lulavi menjadi sebal mendengar nama Berry. Namun, ia teringat akan kebaikan Tante Kina dulu. Dulu, Tante Kina sering sekali mengajak Ibu dan Lulavi jalan-jalan. Tante Kina juga sering memuji kelucuan Lulavi kecil. Tante Kina sepertinya ingin sekali punya anak perempuan, namun tidak pernah kesampaian. Oleh sebab itu, ia sangat senang dengan Lulavi dulu. Dan… ups, Lulavi baru ingat kalau Tante Kina dulu sering “meminta” Lulavi untuk Berry.

“Yuk, Lula, kita masuk dan minum.” Lulavi berjalan bersama Tante Kina menuju meja makan yang penuh dengan hidangan ringan. Lulavi memperhatikan ke atas meja makan. Di sana terhidang buah segar yang sudah dikupas dan dipotong-dipotong serta disusun sedemikian rupa hingga membentuk burung merak, lucu sekali. Selain itu, ada banyak cup cake yang disusun hingga membentuk pohon cemara. Terakhir, terdapat beberapa mangkuk berisi minuman dingin warna-warni. Lulavi pun tertarik mengambil minuman yang berwarna hijau. Kebetulan sekali, mangkuk minuman itu baru diisi lagi oleh seorang petugas. Lulavi pun bergegas menuju mangkuk minuman hijau.

“Mau segelas dong, Mas.” Lulavi memperhatikan wajah si petugas itu. Ia pun kaget saat mendapati sosok Yusuf sebagai petugas pengisi minuman.

“Yusuf.” Lulavi memanggil nama Yusuf. Yusuf bergeming.

“Hei, kamu Yusuf, kan? Kamu ngapain di sini?” Yusuf tetap bergeming saat Lulavi kembali membuka suara.

“Ini. Sana kamu pergi kembali ke Tante Kina.” Yusuf memberikan segelas minuman berwarna hijau. Lulavi tak mau mengambilnya.

“Kenapa kamu enggak ambil gelas ini? Katanya kamu mau tadi.” Yusuf akhirnya membuka suara.

“Aku enggak akan akan ambil gelas ini sebelum kamu jawab pertanyaanku.” Lulavi kukuh terhadap pendiriannya.

“Sudah ambil saja. Kalau tidak, aku akan dimarahi Tante Kina.” Suara Yusuf membesar, mengakibatkan Tante Kina datang menghampirinya.

“Ada apa ini Yusuf? Kamu yang sopan dong sama tamu. Dia ini Lulavi. Calon menantu saya. Calon istri kakak sepupu kamu.” Tante Kina memarahi Yusuf.

“Jadi Yusuf ini adik sepupu Berry, Tante?”

“Kamu kenal sama Yusuf?”

“Dia ini teman SMP aku, Tante.” Lulavi tersenyum.

Tante Kina memiliki perasaan tidak enak. Ia tahu bahwa Yusuf adalah anak baik. Bahkan jauh lebih baik daripada Berry. Perempuan seperti Lulavi pasti akan lebih memilih Yusuf ketimbang Berry. Tapi, Tante Kina tidak akan membiarkan Lulavi kesayangannya jatuh kepada anak adiknya itu.

“Yusuf, kamu ke belakang sana. Diem aja sana di belakang, jangan ganggu acara tunangan Berry dengan Lulavi.”

Kata ‘tunangan’ sontak membuat hati Lulavi berdegup kencang sekaligus marah. Ayah telah menjebaknya. Lulavi belum pernah mendeklarasikan kesediaannya untuk menikah dengan Berry. Oleh karena itu, Ayah pun tidak memiliki hak untuk menikahkan Lulavi dengan Berry.

“Maaf Tante, tunangan?” Lulavi menaikkan sebelah alisnya tanda heran sekaligus tidak senang.

“Loh, iya. Kamu senang kan?” Tante Kina malah menyambut gembira wajah Lulavi yang penuh keheranan.

“Maaf Tante, Ayah enggak bilang kalau malam ini Lulavi bakal dikhitbah sama Berry.”

“Enggak ada ceramah. Adanya cincin perak buat Lula sayang…” Tante Kina mengelus-elus bahu kanan Lulavi.

“Maaf Tante, khitbah, bukan khutbah.”

“Ah, udahlah, kamu mah begitu deh sama Tante.” Tante Kina memasang wajah marah campur gembira.

“Tante, Lulavi belum ridha untuk dilamar sama Berry. Ada baiknya tunggu sampai Lulavi ridha.” Dengan wajah polos, Yusuf angkat bicara.

Tante Kina memandangi Yusuf dengan penuh amarah. Ingin sekali rasanya menyiram wajah Yusuf dengan minuman-minuman yang ada di hadapannya. Selalu saja begitu. Selalu saja Yusuf membuat kesabaran Tante Kina habis. Anak dari adiknya yang tukang tipu itu memang tidak pernah habis-habisnya berulah. Yusuf selalu disamakan seperti ayahnya di mata Tante Kina.

Ayah Yusuf merupakan adik Tante Kina. Sifat ayahnya itu tidak jauh dari sifat pemuda berandal. Kuliah DO, kerja pun berkali-kali dipecat. Terakhir kali, ayah Yusuf meminjam uang kepada Tante Kina. Alasannya untuk membuka usaha. Tante Kina tidak percaya. Tapi, ayah Yusuf menjanjikan Yusuf yang kala itu masih dalam kandungan untuk Tante Kina. Ayah Yusuf bilang kalau anak yang dikandung istrinya adalah perempuan. Tante Kina percaya begitu saja. Hasilnya, uang Tante Kina raib dibawa kabur dan ia pun tidak mendapatkan anak perempuan.

Hingga kini, tidak ada yang tahu keberadaan ayah Yusuf. Ibu Yusuf pun dikembalikan ke orang tuanya. Yusuf diasuh oleh Tante Kina, namun Yusuf sangat dibedakan dengan Berry. Berry selalu dimanja, sementara Yusuf kebalikannya. Kebutuhan Berry selalu dipenuhi, sementara Yusuf kebalikannya. Berry diakui sebagai anak kandungnya, sementara Yusuf pun kebalikannya.

Lampu rumah Tante Kina tiba-tiba padam. Lulavi menyangka itu hanya mati listrik biasa. Namun, Lulavi melihat cahaya-cahaya kecil yang sepertinya dari lilin mulai menyala di kejauhan. Cahaya-cahaya itu menyala satu-persatu hingga membentuk hati.

“Lulavi, tolong maju tiga langkah.” Seorang laki-laki mulai membuka suara dengan microfon.

Lulavi tidak beranjak sama sekali. Laki-laki dengan microfon tadi pun tetap bergeming.

“Lula, ayo maju, jangan bikin Berry kecewa.” Tiba-tiba Tante Kina menuntun Lulavi untuk berjalan.

Lulavi ingin kabur, tapi kegelapan menghalanginya. Ia berusaha menahan dorongan Tante Kina. Sekuat apa Lulavi menahan dorongan tersebut, tubuhnya tetap maju perlahan-lahan. Perasaannya semakin tidak karuan, sementara badannya terus melaju oleh dorongan Tante Kina. Hingga akhirnya tubuh Lulavi menabrak sebuah badan.

“Lulavi, asal kamu tahu, aku buat semua ini demi kamu.” Laki-laki tadi yang kemungkinan adalah Berry kembali angkat bicara. Ia pun meraih tangan Lulavi. Lulavi sontak menarik tangannya kembali.

“Aku tahu kamu enggak suka cara ini. Tapi, aku enggak tahu cara seperti apa yang kamu sukai.”

Lulavi luluh hatinya oleh kalimat barusan. Lulavi mulai berpikir kalau Berry sebenarnya bisa diajak menjadi baik.

“Will you marry me?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun