Mohon tunggu...
Ramli Pilawean
Ramli Pilawean Mohon Tunggu... Buruh - Sederhana

Sedang menjalani pendidikan Strata I di Universitas Tompotika Luwuk Fakultas Ekonomi Program Studi Ekonomi Pembangunan dengan konsentarasi Perencanaan Pembangunan Ekonomi Regional

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang yang Mencemaskan

4 Agustus 2019   14:45 Diperbarui: 4 Agustus 2019   18:09 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi, kurang lebih pukul 05.30 wita di hari Kamis, tanggal 04 Juli 2019. Dering telpon berbunyi. Aku merasa ketakutan. Bukan takut pada siapa atau tentang apa. Tapi lebih pada : takut kehilangan.

"Aku takut tak melihatnya lagi. Aku takut sapa halusnya tak kudengar lagi. Aku takut kasih sayangnya padaku tiada lagi".

Entah, aku belum siap dengan takdir yang  akan datang mengambilnya dariku. 

Pada dia aku belajar tentang hidup. Pada dia aku belajar bagaimana mengasihi. Dan pada dia aku belajar mencintai. 

Nama pada panggilan telpon itu tertulis : My Queen. Berapa hari sebelumnya tiba-tiba pikiran selalu tertuju padanya. Membayangkan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi, saat aku tak ada disampingnya.

Ada firasat lain ketika melihat nama pada panggilan telpon itu. Tak seperti biasanya, dia menelponku pada waktu begini. Se-olah hal yang aku bayangkan di hari-hari sebelumnya akan terjadi. 

Semoga saja saat aku menjawab telponmu, aku akan mendengar suara lembutmu. Menyapaku saat matahari belum menampakan sinarnya pada bumi. Dan kamu akan bertanya "sudah bangun atau baru mau tidur ?". Sebab kamu tahu kebiasaan buruku. Susah tidur di waktu malam.

Setelah menjawab telponmu. Terdengar hanyalah suara yang menandakan kalau pulsamu telah habis. Kemudian kuletakan telpon genggam didekat kepalaku, tak begitu jauh. Jaraknya hanya sekitar 30 cm.

Baru ingin memejamkan mata. Dering telpon berbunyi lagi. Tak ada nama. Terlihat hanya deretan angka. Ku jawab telpon itu dengan mata yang tetap terpejam. Terdengar suara dengan dialeg kampung. Begitu sangat familiar. 

"Pulang dulu. Mama jatuh sakit". Dari tadi malam menahan dan merintih kesakitan. 

Jawabku tak panjang lebar, "Iye, saya mo pulang". 

Panik, ketakutan menyelimuti diri. Aku belum ingin kejadian pada tiga tahun lalu terjadi lagi. Saat takdir mengambil seorang lelaki hebat yang aku miliki. Saat itu, aku hanya mendengar Ayahku meninggal melalui telpon. Tak ada didekatnya, menemani dan mengantarkannya pergi ke kehidupan yang abadi.

Oleh sebab itu, aku belum ingin takdir mengambil Ibuku dariku. Karena hanya dia satunya-satunya yang aku miliki saat ini. 

*

Tak cukup satu menit untuk menenangkan diri. Dua lembar baju aku masukan pada tas kecil. Alhamdulillah saat itu, selembar uang kertas berwarna merah masih ada didalam dompetku. Cukup untuk pulang.

Pelabuhan keberangkatan cukup jauh dari daerah kota. Jarak tempuh untuk sampai kurang lebih dua jam. Sementara waktu masih terlalu pagi, sopir mobil penumpang masih malas untuk mengais rezeki. Untung saja ada teman yang baik hati, meminjamkan kendaraan bermotor mereka untuk di bawah. 

Dengan kecepatan penuh, pukul 08.30 wita aku sampai dipelabuhan keberangkatan. Setengah jam lagi bodi akan berangkat (sebutan kapal kecil) ke pulau Walea Besar Kab. Tojo Una-Una, kampungku.

Suara bising mesin bodi menjadi iring-iringan kecemasanku pada Ibuku. Meski sejak malam belum tidur, mata enggan terpejam untuk menunggu sampai. Pukul 13.00 wita, setelah menyebrang lautan sekitar lima jam. Bodi bersandar di pelabuhan sebelah kampung. 

Bodi belum bersandar dengan baik di bibir jembatan pelabuhan. Aku sudah melompat ke jembatan dan berlari. Agar bisa sampai di rumah dan melihat kondisi Ibu yang sakit. 

Dikampung sebelah ada keluarga sepupu Ibu, yang bilang kalau Ibuku tak ada lagi di rumah. "Mamamu sudah berada di puskesmas kecamatan sejak pagi tadi". 

Belum sempat menginjakan kaki di rumah kecil tempat tinggal kami. Aku langsung menuju puskesmas. Perjalanan setengah jam, tibalah di depan puskesmas tempat Ibu di rawat. 

Perlahan kaki berjalan menuju kamar perawatan. Pintu terbuka, terlihat dari jauh seorang wanita tua terbaring. Terdengar samar, suara sendu. Suara yang tak begitu biasa. Cemasku semakin besar.

Setelah sampai di kamar perawatan, senyuman dan raut wajahnya menandakan "nak, jangan takut. Ibu baik-baik saja". Kubalas senyuman Ibuku dengan peluk sembari berkata "ibu akan sembuh", anakmu di sini.      

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun