Panik, ketakutan menyelimuti diri. Aku belum ingin kejadian pada tiga tahun lalu terjadi lagi. Saat takdir mengambil seorang lelaki hebat yang aku miliki. Saat itu, aku hanya mendengar Ayahku meninggal melalui telpon. Tak ada didekatnya, menemani dan mengantarkannya pergi ke kehidupan yang abadi.
Oleh sebab itu, aku belum ingin takdir mengambil Ibuku dariku. Karena hanya dia satunya-satunya yang aku miliki saat ini.Â
*
Tak cukup satu menit untuk menenangkan diri. Dua lembar baju aku masukan pada tas kecil. Alhamdulillah saat itu, selembar uang kertas berwarna merah masih ada didalam dompetku. Cukup untuk pulang.
Pelabuhan keberangkatan cukup jauh dari daerah kota. Jarak tempuh untuk sampai kurang lebih dua jam. Sementara waktu masih terlalu pagi, sopir mobil penumpang masih malas untuk mengais rezeki. Untung saja ada teman yang baik hati, meminjamkan kendaraan bermotor mereka untuk di bawah.Â
Dengan kecepatan penuh, pukul 08.30 wita aku sampai dipelabuhan keberangkatan. Setengah jam lagi bodi akan berangkat (sebutan kapal kecil) ke pulau Walea Besar Kab. Tojo Una-Una, kampungku.
Suara bising mesin bodi menjadi iring-iringan kecemasanku pada Ibuku. Meski sejak malam belum tidur, mata enggan terpejam untuk menunggu sampai. Pukul 13.00 wita, setelah menyebrang lautan sekitar lima jam. Bodi bersandar di pelabuhan sebelah kampung.Â
Bodi belum bersandar dengan baik di bibir jembatan pelabuhan. Aku sudah melompat ke jembatan dan berlari. Agar bisa sampai di rumah dan melihat kondisi Ibu yang sakit.Â
Dikampung sebelah ada keluarga sepupu Ibu, yang bilang kalau Ibuku tak ada lagi di rumah. "Mamamu sudah berada di puskesmas kecamatan sejak pagi tadi".Â
Belum sempat menginjakan kaki di rumah kecil tempat tinggal kami. Aku langsung menuju puskesmas. Perjalanan setengah jam, tibalah di depan puskesmas tempat Ibu di rawat.Â
Perlahan kaki berjalan menuju kamar perawatan. Pintu terbuka, terlihat dari jauh seorang wanita tua terbaring. Terdengar samar, suara sendu. Suara yang tak begitu biasa. Cemasku semakin besar.