Fenomena pindah partai biasanya hinggap menjelang selebrasi pemilihan. Hampir setiap politisi yang pindah partai biasanya menggunakan alasan, 'sudah tak sejalan dengan partai dulu'. Namun apa benar itu berasal dari hati sanubari mereka yang terdalam? tentu kita tidak tahu, hanya mereka dan Tuhan yang tahu.
Kenapa Jelang Pemilihan ?
Hari ini, tentu sangat wajar jika publik menaruh curiga kepada para politisi yang pindah partai. Terlepas pindah partai karena inisiatif sendiri, atau terpaksa karena mereka ditendang oleh partai lama. Orang bilang, untuk mencari masa depan yang lebih cerah. Demikian adanya opini yang beredar dan tentu mungkin ada benarnya juga. Opini tersebut tidak sekedar asal bunyi, masyarakat banyak belajar dari pengalaman yang sudah dilewati. Toh, pemilihan bukan hanya di tingkat nasional saja, tapi mulai dari pilkades, pilbup/pilwalkot dan pilgub, rakyat kita ikuti dengan penuh khidmat.
Saya ambil contoh di Jawa Barat. Karena saya tinggal di sana, jadi cukup punya banyak masukan. Contoh yang paling populer yaitu kepindahan Dede Yusuf dari Partai Amanat Nasional (PAN) ke Partai Demokrat. Awalnya, publik mendengar bahwa alasan Dede Yusuf pindah partai karena visi yang tidak sejalan. Namukemudian, selang berapa waktu kemudian, Kang Dede malah dicalonkan oleh partai barunya tersebut. Iwan Sulandjana, ketua DPD Partai Demokrat Jabar pun seakan meradang, alih-alih sudah ngiklan dimana-mana tapi apa boleh buat, disalip oleh 'anak kemarin sore'. Kang Dede memang elektabilitasnya cukup bagus di Jabar, sehingga DPP pun cukup yakin mengusungnya jadi Jabar-1 mendampingi Lex Laksamana.So, pindah partai ala Dede Yusuf ternyata mengantarkan dirinya menjadi cagub partai barunya. Sesuatu yang mendapat 'dua jempol' dari berbagai pihak.
Lain lagi ceritanya dengan Dada Rosada, Walikota Bandung sekarang. Kepindahan dirinya dari Partai Golkar ke Partai Demokrat karena kekalahannya dengan MS. Irianto alias Kang Yance waktu Musda PG terakhir. Tak ingin ada dua bintang, Dada Rosada yang sudah digadang2 forum komunikasi ormas Islam se-Bandung menjadi calon Gunernur akhirnya pindah ke Partai Demokrat. Namun apa daya, di partai barunya, ternyata Kang Dada tidak bisa menyaingi kepopuleran Dede Yusuf. Sayang seribu sayang, pindah partai pun tak berujung sukses. Dada Rosada mungkin akan pensiun atau kalau masih siap, bertarung di Pilgub 2018.
Karena Dipecat
Tak Jarang pindah partai pun disebabkan karena dipecat oleh partai sendiri. Kasus di Sumedang misalnya, Sekretaris DPC PPP Sumedang dipecat karena nekad nyalon sebagai wakil bupati bersama calon partai lainnya. DI Kabupaten Bandung Barat juga terjadi hal serupa, wakil ketua DPRD KBB asal Partai Golkar yaitu Tatang Gunawan dipecat partai karena mencoba-coba mendaftar sebagai calon wakil bupati incumbent. Namun dewi fortuna mungkin tak menghampiri, incumbent malah memilih orang lain, dan dirinya pun tak terpilih. Habis jatuh terkena tangga, demikian ungkapan yang tepat untuk kang Tagun. Jadi calon tak jadi, dipecat partai pun jadi pilihan pasti. So, akhirnya pindah partai solusi terbaik.
Infiltrasi ?
Namanya politik apapun bisa terjadi. Bisa jadi titah sang ketua kepada bawahan untuk melakukan infiltrasi menjadi salah satu cara terbaik untuk memenangkan pertarungan di jagad demokrasi ini. Tidak hanya zaman Orba, orang-orang Golkar disusupkan ke PPP atau PDI. Sejak zaman Masyumi pun demikian. Atau malah eranya Ikhwanul Muslimin di Mesir pun demikian. Banyak partai atau organisasi hancur karena kerjaan 'orang bayaran' ini. Waktu pileg 2009 kemarin, media menyebut Soeripto sebagai alumni SI Merah yang sengaja disusupkan ke PKS. Namun kita tak tahu faktanya seperti apa, toh Soeripto dan PKS-nya pun adem-adem saja. Malah elmu intelijen Soeripto banyak dipakai oleh PKS. Jadi tak heran, mereka lebih faham apa yang disebut konspirasi. Toh Soeripto adalah salah satu orang yang mumpuni di bidang ini.
Bukan maksud untuk menuduh, Partai Golkar punya rekam jejak yang bagus dalam urusan susup menyusupi. Para kader mereka kini tersebar di berbagai partai politik. Partai sekarang yang berkuasa pun tak terkecuali banyak yang dihinggapi oleh eks kader mereka. Pindah partai bisa jadi untuk mengumpulkan data partai lain yang digunakan untuk kepentingan partai yang diyakini memberikan keuntungan yang lebih untuknya.
Harta, Tahta dan Wanita
Pindah partai untuk masa depan yang lebih cerah. Demikian tagline yang mostly orang Indonesia yakini. Silahkan para politisi berbusa-busa menyampaikan alasan kepindahannya, tapi toh itu tak membuat masyarakat kita mudah percaya. Apapun itu, mereka tak akan pindah kalau urusan politik ke depannya tidaklah pasti.
Yang menjadi hangat adalah apakah ada faktor 'Wanita' disini. Seakan tidak mau kalah dengan kasus gratifikasi perempuan yang diselidiki KPK, kepindahan seorang politisi pun bisa jadi karena ada sesuatu ayang menjadi tawaran menarik. Masih ingat dulu, pernah membaca sebuah majalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) disebutkan bahwa kenapa Soekarno mengijinkan Faham Nasakom beredar di Indonesia? Disebutkan dalam majalah tersebut bahwa, dalam sebuah lawatan Soekarno ke Moskow, dia ditawari seorang perempuan Rusia yang sangat cantik jelita. Soekarno pun terperangkap rayuan. Video mereka di pegang oleh intel Soviet. Soekarno diberi pilihan, apakah mau videonya tersebar atau mengijinkan faham komunis masuk Indonesia. Alhasil, komunis pun bisa melanggeng ke Indonesia dengan perlindungan Soekarno. Begitulah politik, wanita kadang menjadi amunisi yang dahsyat untuk meruntuhkan kewibawaan seseorang. Dan tak mustahil, hal itu pun menjadi alasan kepindahan para politisi.
Idealism No 1
Harus diakui, masih ada para politisi yang menjadikan idealisme bernegara menjadi salah satu alasan kenapa mereka pindah partai. Kepindahan beberapa partai Nasdem dianggap karena Surya Paloh ternya menginginkan Nasdem berada di tangan dan kakinya sendiri. Ibarat kerajaan, Surya Paloh ternyata ketahuan memiliki sifat diktator dalam urusan berorganisasi. Bisa jadi, dalam urusan ini, eks kader partai Nasdem yang pindah karena benar-benar sudah tak tahan dengan kekacauan partainya tersebut.
Beda dengan Nasdem, ada juga ternyata beberapa politisi yang 'gagal' bertarung memilih untuk hidup di jalur lain. Dalam kasus langka ternyata ada juga eks parpol yang msuk ke Hizbut Tahrir. Keduanya sama-sama Partai (Hizb) tapi beda jalur. Tapi toh ada ternyata mantan politisi yang seperti itu.
Penutup
Pindah partai bukan sesuatu yang tabu bagi masyarakat Indonesia yang kenyang akan kehidupan politiknya. Pindah partai masih berkonotasi 'negatif' karena seringkali para aktornya membawa pesan-pesan pragmatis bukan untuk kepentingan masyarakat pada umumnya. Dan terakhir, berapapun politisi yang loncat partai, tidak akan berpengaruh pada kualitas kehidupan masyarakat apabila mereka tidak membawa perubahan dalam parati barunya, atau sekedar menjadi kacung penguasa **
Ramlan Nugraha
Bandung, Ba'da Jumatan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI