Kopi sudah terseruput seperempat, tapi belum juga membuat suasana paginya tenang. Sukardi seakan ingin mencari ketenangan lain dari sebatang rokok dalam saku. Dia menyusupkannya satu di antara bibirnya. Belum usai ujung tembakau itu terbakar, Sukardi masih juga menambahkan kekesalan lain. “Ingat! Dia itu laki-laki. Dia akan menjadi penanggung jawab keluarga nantinya. Lihat sekarang! Untuk bertanggung jawab sama diri sendiri saja tidak bisa.”
Kepul-kepul asap penuh mengisi ruang tamu. Karsinah masih duduk di kursi makan. Mengatur-ngatur letak tempe dalam pinggan yang sebenarnya sudah tersusun rapi. Kemudian tangannya berpindah pada piring-piring yang telah dilap. Karsinah memilih yang terbersih untuk diisi beberapa sendok nasi. “Sarapan dulu, Pak!”
“Nanti lagi.”
Karsinah menurut. Baginya ini bukan sebuah penolakan. Bukan pula pengabaian atas keringatnya menghidangkan kehidupan di pagi hari. Suaminya akan menyantapnya jika dia lagi berselera. Kali ini mungkin sedang tidak. Bisa jadi kebosanan penyebabnya. Karsinah memang seharusnya paham. Lain pagi dia tak perlu lagi menambahkan tempe dan telor ceplok pada menu sarapannya.
“Apa mau dibekalkan?” Karsinah masih juga bertanya pada jawaban yang sesungguhnya sudah dia tahu.
“Nggak perlu.” Dan memang begitu.
Nasi itu lalu ditumpahkan kembali pada magic com. Dimainkan ujung sendoknya pada gundukan nasi agar kembali terlihat rata. Hening hanya sekejap jatuh di ruang tamu, saat jam pada lengan Sukardi mengingatkan pada kecemasannya. Ditatapi lekat pintu kamar samping kanan, Asti seharusnya sudah selesai berpakaian.
“Astiii …! Sudah siap belum!”
“Bentar lagi …!” begitu sahutan dari dalam kamar.
“Cepat sedikit, Nak! Nanti Bapak telat!” Karsinah menyambungkan.
“Iyaaa …!”