Memang sering kali Sagrip mendapati tetangga sebelah RT-nya itu mengeluh soal kondisi ekonomi keluarganya. Tapi tak pernah bernada menggugat seperti ini. Tiap kali Sagrip selalu berhasil menghilangkan keluh kesah Samtari dengan ucapan-ucapannya yang melembutkan, biasanya dipungkasi dengan memberikan pinjaman uang sekadar sepuluh atau dua puluh ribu jika Samtari memang betul-betul butuh. Jika pun tidak, setidaknya tiap minggu istri Samtari akan selalu menerima uang dari hasil keringatnya menyetrika pakaian keluarga Sagrip. Si Sulung Ocim juga selalu dapat tumpangan gratis menaiki motor Sagrip, karena sekolahnya searah dengan sekolah Teguh, anak pertama Sagrip. Kadang, entah karena iba, Teguh sering kali mengepalkan uang dua ribu rupiah pada genggaman Rahman, meski kepala anak itu kontras menggeleng-geleng. Masihlah bisa dibilang tetap ada rezeki. Jadi tak ada alasan sama sekali Samtari menggugat Tuhan yang kadung dipercaya sebagai yang Maha Kaya dan Maha Pemurah.
“Kalo kamu sekarang merasa hidup susah, sabarlah. Cuma soal waktu saja. Allah belum ngasih keluasan rezeki buat kamu saat ini, mungkin saja karena kamu belum siap nerimanya. Makanya kamu diuji dulu dengan kesusahan. Jika dengan kesusahan iman kamu tetap teguh dan kuat, mungkin saatnya Allah akan menguji kamu dengan kecukupan. Ingat, semuanya tetap dalam bentuk ujian.”
Samtari hanya bisa menunduk. Diam. Mendengar kembali celotehan Sagrip, selain menciptakan kemasyukkan religius pada dirinya sekaligus juga membuat gelas kopi dan kacang kulit hanya bisa terus dipandangi terdiam di teras rumah Sagrip.
“Percayalah, Allah akan ngasih jalan buat kamu pada saatnya nanti. Lihat saja saya! Kamu tau sendiri gimana kelakuan saya dulu. Jadi preman kampung, tukang judi, tukang mabok. Kamu sendiri pernah saya pukuli kerana nggak ngasih duit. Kalo kebetulan Allah ngasih mati pada saat saya masih bergumul dosa, seratus persen sudah pasti saya bakal masuk neraka. Tapi Allah ternyata masih ngasih kesempatan saya untuk bertobat. Saya diuji juga untuk bertobat, hasilnya bisa kamu lihat sekarang ini. Saya berubah.”
Samtari mengangguk-angguk.
“Saya bertaubat, berubah, bekerja, memohon, dan pasrah. Saya tak pernah bermimpi memiliki rumah, kendaraan, dan pekerjaan seperti ini, tapi Allah ngasih semuanya. Kamu juga bisa seperti itu, Sam." Samtari masih bergeming. Lalu didekatkan wajahnya pada tubuh Samtari. "Kira-kira dari semua usaha itu mana yang belum kamu lakukan?”
“Belum semua mungkin. Tapi saya nggak pernah berbuat maksiat seperti kamu, Grip.”
“Itu lebih baik. Tapi tobat tetep perlu. Bagaimana pun kita pasti pernah berbuat dosa. Dosa-dosa kecil atau yang tak kita sadari, Insya Allah lebih mudah diampuni. Tinggal selanjutnya tanamkan dalam hati untuk mengubah diri menjadi manusia yang lebih baik dan menjadi pekerja yang lebih bersemangat. Bisa kamu, Sam?”
“Insya Allah.”
Sagrip menarik napas lega. Dilihatnya memang ada desir-desir darah yang turun, membasmi emosi dan sikap menggugat pada diri Samtari. Seperti penilaiannya Samtari memang bukan tipe lelaki sulit. Dia hanya butuh orang untuk mengingatkan.
Kemudian kopi mulai diseruput Sagrip. Samtari menyeruput lebih sedikit.