Asna kembali diam, bukan untuk membantah atas apa yang ikut bergulat di dadanya. Dia tahu situasi ini akan dia alami. Dia sudah mempersiapkan jawabannya jauh-jauh hari sebelumnya. Lalu secara sadar kepalanya ditenggakkan, kemudian jatuh sebagai tanda persetujuan.
“Nek ngomong tho! Mau ndak?”
“… mau.”
“Yesss!”
Ah, tak perlu digambarkan lagi bagaimana reaksi seorang lelaki ketika cintanya bersambut. Semua rasa seperti baru saja pecah lepas. Tubuh seakan selalu ingin melonjak girang. Keringat mengucur deras atau lupa menghela napas. Khusus untuk kasus Naim, bisa ditambahkan dengan seringnya dia menggaruk-garuk bagian selangkangannya yang tak gatal. Apapun itu, ternyata semua rencananya yang dia bangun semalaman itu sukses besar. Dia merasa mendapatkan tambahan motivasi untuk mewarnai hidupnya dengan kebahagiaan. Kebahagiaan berbagi pengetahuan dan kebahagian berbagi cinta.
“Gilani …!” seru Asna lemah saat masih melihat tubuh Naim yang melonjak-lonjak. Beberapa serangga ikut juga terbang dari batang padi ketika kehebohan itu tercipta. Salah satunya melompat pada bahu Asna. “Apa ini?”
Naim terdiam. Dipandangi hewan kecil yang bersandar di bahu Asna.
“Diem. Jangan bergerak, Na!”
“Apa iniiii???” teriak Asna penuh khawatir.
“Ndak apa-apa, cuma serangga kecil. Hitam merah … “
“Aaah, tomcaaat …!” teriakan Asna makin menjadi. Kini giliran Asna berjikrak-jingkrak sebelum tubuhnya sigap memeluk tubuh Naim sebagai upaya mendapatkan perlindungan. Seperti ketiban durian emas Naim senang saja menyilakan tubuhnya didekap erat dengan sukarela.