“Hmm, kita ini sebenernya pacaran ndak, sih?”
Asna melirik sisi wajah Naim. Sedetik saja lalu pandangannya kembali dilemparkan pada pematang. “Nggak tau, nggak ada yang pernah ngajak aku pacaran.”
“Tapi aku tresno sama kamu, Na.”
Mulut Asna tercekat. Sebenarnya dia akan mingkem ketika ucapan Naim itu terlontar. Tapi tak jadi. Kini mulutnya malah jadi terlihat menganga lebar.
“SetelahTaman Baca-ku, tak ada yang kupikirkan lagi selain kamu. Euh, anu … maksudnya kamu dan Taman Baca-ku sama-sama menempati hal terpenting dalam hidupku. Kalau dengan Taman Baca itu aku merasa bisa menerangi siapapun orang merasakan manfaat karenanya, maka dengan memilikimu, kamulah sesungguhnya yang menerangi hatiku.”
Harusnya ini romantis. Naim pun mengungkapkannya dengan dada yang penuh getar. Apalagi terlihat gadis di sampingnya hanya mampu menunduk tajam, setengah melumat bibirnya sendiri. Tapi Naim tetap canggung. Khawatir Asna hanya akan membalasnya dengan mantra saktinya tiap kali dia mulai berbicara romantis. “GOMBAL!”. Begitu. Dianggapnya dia hanya meniru-niru gaya merayu gombal di tivi-tivi.
“Hmmm … kamu mau jadi perempuan yang menerangi hatiku?”
Asna diam.
“Mau ndak?”
“Apaan sih ….”
“Mau jadi pacarku?”