KOPI DARI SANG ISTRI
Oleh: Ramdhani Nur
[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Sumber gambar: http://caritauaja.info/"][/caption]
Tidak bisakah kita melakukan kompromi, Munah? Seperti yang selalu kau ajarkan pada anak-anak. Kenapa tidak mencobanya kali ini pada saya.
Pagi ini kopi bikinan Munah tidak enak. Rasanya terlalu pahit. Kopi pahit tidak pernah cocok di lidah saya. Apalagi yang terlalu. Munah mestinya tahu itu. Selama dua puluh dua tahun kopi bikinan Munah tidak pernah salah. Selalu panas dan sedikit manis. Agak kental tapi tersaring baik. Tersaji dalam gelas belimbing hampir penuh segelas. Dialasi tatakan dari kaleng lengkap dengan penutupnya. Selalu tersaji tepat pukul 6.30 pagi di atas meja ruang tamu. Pagi ini pun begitu, cuma rasanya saja yang tidak enak.
“Kopimu ada di atas meja.”
Ya, kopi tidak enak ini memang sudah ada di atas meja. Saya sedang memandanginya dan mulai berpikir kenapa kopi ini menjadi pahit. Mudah bagi saya untuk menyalahkan Munah yang lupa menambahkan gula di gelas kopi saya. Cuma sepertinya kok aneh saja, sebab selama dua puluh dua tahun baru kali ini Munah lupa menambahkan gula. Mungkin Munah mulai tua, mulai lupa pada banyak hal. Padahal umurnya hanya terpaut tiga tahun lebih muda dari saya. Kasihan! Apa penyakit pikunnya sudah menyerangnya lebih awal? Saya kurang yakin. Masih perlu pembuktian lebih lanjut. Saya baru bisa memercayai itu jika besok Munah lupa menambahkan kopi di kopi saya.
“Kopinya tidak diminum?”
Sudah. Dan rasanya tidak enak. Tepatnya terlalu kental. Saya tidak perlu menggunakan teori kimia untuk menentukan kekentalan larutan kopi ini. Cahaya mahatari yang datang dari jendela rumah yang menubruk gelas kopi saya sama sekali tidak tembus. Ini tandanya kopi ini terlalu kental. Ini mungkin dua takaran kopi yang diracik dalam satiu gelas. Munah, Munah! Kau hendak bicara apa dengan kopi yang terlalu kental begini? Sungguh saya tidak bisa mengerti bahasa kopi yang terlalu kental, bahasa masakan yang terlalu asin, bahasa baju yang masih kusut, atau juga bahasa rumah yang dibiarkan berantakan. Saya hanya bisa mengerti bahasa yang keluar dari bibirmu. Itu pun kalau saya perlu untuk mengerti.
Mungkin Munah mau bilang; “Pak, harga kopi sekarang lagi murah, sementara uang yang Bapak beri sudah saya belikan kopi semua. Jadi dari pada mubajir takaran kopinya saya tambahkan.” Ah, tapi Munah tidak segoblok itu. Atau mungkin Munah mau menunjukkan kentalnya rasa cinta dia terhadap saya sampai-sampai dia simbolkan itu lewat segelas kopi yang terlalu kental cinta yang kental adalah cinta yang terseruput dengan nikmat di pagi hari. Oh, simbolisasi macam apa itu? Kopi terlalu kental yang kopi terlalu kental. Titik.
“Kadingaren kopinya masih penuh.”
Kadingaren pula kamu membikin kopi ini penuh sampai luber ke tutupnya. Bagaimana nanti jika baru dibuka airnya tiba-tiba muncrat ke baju saya? Bisa-bisa kotor semua pakaian seragam ini. Jelek-jelek begini saya ini sekretaris desa. Sudah dua puluh tahun bekerja dengan disiplin, rapi, tanpa cacat dan keburukan. Saya berani dijadikan model pegawai negeri untuk percontohan pegawai teladan. Plus jadi korban utama jika ada audit atau sidak dari pegawai atasaan tentang kedisiplinan atau kebersihannya secarai pisik maupun mental dari kejahatan korupsi dan kolusi. Kalau sampai seragam saya ternoda, agak ternoda juga citra saya sebagai pegawai pemerintah yang bersih. Tentunya Munah akan sulit memahami itu. Menjadi pegawai yang bersih luar dalam adalah keharusan, katanya. Yang menyuruh menjadi bersih itu bukan sidak atau pegawai atasan, melainkan yang di atasnya lagi. Yaitu Gusti Allah. Ya, ya, Munah memang lebih fasih berbicara di wilayah itu. Juga jauh lebih jernih memahami sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan gengsi pribadi dan gengsi sosial. Baginya hidup itu orang harus berlaku ihsan. Perbuatan kita hanya dipamerkan kepada Tuhan dengan rasa takut dan cinta. Ah, sudah seperti sufi saja kau Munah!
Dengan tragedi kopi ini saya mestinya sudah kesal. Hari buruk saya sudah dimulai pagi-pagi sekali. Tapi bagaimana saya bisa melupakan kekesalan ini, jika di hadapan saya cuma ada seorang Munah yang tampak naïf dengan kepandaiannya berfilsafat tadi.
“Lho, masih didiemin aja! Apa sudah bosen minum kopi?”
Tidak! Tapi sukar menikmati kopi yang tidak enak ini. Kopi ini terlanjur dingin. Tambahkan saja es batu sekalian biar bisa kompak dengan cuaca pagi yang masih dingin ini. Munah ingin menyiksa saya rupanya. Berharap saya marah dan menyuruhnya membuatkan kopi baru. Itu pasti akan membuatnya merasa menang. Karena telah berhasil mengubah temperamental saya. Tapi pada saat begini yang ingin saya lakukan adalah menatap matanya dengan tegas. Tanpa kata-kata sama sekali. Hingga Munah menemukan maksud tatapan mata saya. Lalu saya akan membiarkan diri saya beringsut ke dapur dan meracik kopi saya sendiri. Itulah yang akan lebih menyiksanya. Kalau sudah begitu sayalah yang akan merasa menang. Hebat, kan? Walaupun begitu, sesungguhnya itu bukan caca-cara yang kami biasakan untuk menunjukkan rasa kesal dan marah. Munah lebih cepat mengerti rasa kesal saya jika saya terdiam. Baginya keheningan yang saya ciptakan menjadi rimba pustaka yang berucap dalam berbagai bahasa yang mampu Munah pahami.
Munah sesungguhnya wanita yang luar biasa. Selain kebiasaannya membuatkan kopi tiap pagi, Munah pun pandai memasak. Kalau saja dia masih punya cukup waktu di luar kesibukannya mengurus saya dan ketiga anak kami, plus rapatnya jadwal pengajian dan mengajar mengaji anak-anak di kampung ini, Munah pasti sudah membuka warung nasi bagi pekerja pabrik sumpit di seberang jalan. Dari keseluruhan hidupnya itu sulit bagi saya untuk menemukan kerut lelah di wajahnya. Sukar pula mengingat satu kelulhan yang keluar dari mulutnya. Munah memang luar baisa. Tinggal kini saya sedang menimbang-nimbang. Apakah kesalahannya membuat kopi hari ini akan mengurangi keluarbiasaannya itu.
“Oh, sudah diminum tho? Kok Cuma sedikit? Nggak diabisin?”
Aduh! Entah apa lagi yang ada di kopi ini. Tiba-tiba saja lambung saya sakit. Nyeri sekali. Keringat saya pun mulai bercucuran. Remasan di perut saya tidak juga membuat sakitnya mereda. Pasti ada sesuatu dengan kopi ini. Tentu ini rencana Munah. Entah apa yang dia tambahkan dalam gelas kopi saya. Reaksinya begitu hebat dan cepat. Beberapa teguk saja saya sudah dibuatnya terkapar. Kau hendak bermaksud apa denga kopi ini Munah? Apa kau ingin melakukan pembalasan terhadap sikapku padamu selama ini? Sekejam ini kah?
“Lha, Bapak ini kenapa?”
Ah, tidak usah berpura-pura Munah. Kau pasti sudah membayangkan nyeri yang saya derita ini. Perut ini seperti dicabik-cabik. Sakit luar biasa. Tidak bisakah kita melakukan kompromi, Munah? Seperti yang selalu kau ajarkan pada anak-anak. Kenapa tidak mencobanya kali ini pada saya. Barangkali saja saya bisa berubah, mau mendengar atau berucap terima kasih. Memujimu atau memberimu senyum. Bagaimana? Apakah sudah terlalu terlambat sekarang?
“Hmm, baru kerasa sekarang, ya? Lambungnya mulai sakit?”
Ya. Dan tak tertahankan! Sakitnya sudah menjalar ke sendi-sendi. Entah dari mana kau dapatkan racikan keparat itu, Munah. Sebab sepertinya itu telah bekerja dengan baik. Sekarang saya hanya mampu memohon padamu Munah…, tolonglah saya…ampuni saya!
“Sarip…! Sarip…! Tolong bantu Ibu bawa Bapak ke kamar. Magnya kambuh lagii. Bapak itu kok ya nggak sadar-sadar punya penyakit gula sama ginjal. Belum lagi mag yang nggak sembuh-sembuh. Dokter bilang apa? Nggak boleh minum kopi, eh maksa minta dibuatin kopi. Pake alasan rupa-rupa. Biar lidahnya nggak sepetlah, pikiran jadi teranglah. Kalau sampai begini yang ngerasain sakit kan Bapak sendiri. Tua-tua kok ngeyel!”
****
*kadingaren=tumben
Cirebon, September 2005
*Cerpen ini pernah dimuat di harian Radar Cirebon medio Pebruari 2006 ditulis ulang dengan sedikit perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H