Kadingaren pula kamu membikin kopi ini penuh sampai luber ke tutupnya. Bagaimana nanti jika baru dibuka airnya tiba-tiba muncrat ke baju saya? Bisa-bisa kotor semua pakaian seragam ini. Jelek-jelek begini saya ini sekretaris desa. Sudah dua puluh tahun bekerja dengan disiplin, rapi, tanpa cacat dan keburukan. Saya berani dijadikan model pegawai negeri untuk percontohan pegawai teladan. Plus jadi korban utama jika ada audit atau sidak dari pegawai atasaan tentang kedisiplinan atau kebersihannya secarai pisik maupun mental dari kejahatan korupsi dan kolusi. Kalau sampai seragam saya ternoda, agak ternoda juga citra saya sebagai pegawai pemerintah yang bersih. Tentunya Munah akan sulit memahami itu. Menjadi pegawai yang bersih luar dalam adalah keharusan, katanya. Yang menyuruh menjadi bersih itu bukan sidak atau pegawai atasan, melainkan yang di atasnya lagi. Yaitu Gusti Allah. Ya, ya, Munah memang lebih fasih berbicara di wilayah itu. Juga jauh lebih jernih memahami sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan gengsi pribadi dan gengsi sosial. Baginya hidup itu orang harus berlaku ihsan. Perbuatan kita hanya dipamerkan kepada Tuhan dengan rasa takut dan cinta. Ah, sudah seperti sufi saja kau Munah!
Dengan tragedi kopi ini saya mestinya sudah kesal. Hari buruk saya sudah dimulai pagi-pagi sekali. Tapi bagaimana saya bisa melupakan kekesalan ini, jika di hadapan saya cuma ada seorang Munah yang tampak naïf dengan kepandaiannya berfilsafat tadi.
“Lho, masih didiemin aja! Apa sudah bosen minum kopi?”
Tidak! Tapi sukar menikmati kopi yang tidak enak ini. Kopi ini terlanjur dingin. Tambahkan saja es batu sekalian biar bisa kompak dengan cuaca pagi yang masih dingin ini. Munah ingin menyiksa saya rupanya. Berharap saya marah dan menyuruhnya membuatkan kopi baru. Itu pasti akan membuatnya merasa menang. Karena telah berhasil mengubah temperamental saya. Tapi pada saat begini yang ingin saya lakukan adalah menatap matanya dengan tegas. Tanpa kata-kata sama sekali. Hingga Munah menemukan maksud tatapan mata saya. Lalu saya akan membiarkan diri saya beringsut ke dapur dan meracik kopi saya sendiri. Itulah yang akan lebih menyiksanya. Kalau sudah begitu sayalah yang akan merasa menang. Hebat, kan? Walaupun begitu, sesungguhnya itu bukan caca-cara yang kami biasakan untuk menunjukkan rasa kesal dan marah. Munah lebih cepat mengerti rasa kesal saya jika saya terdiam. Baginya keheningan yang saya ciptakan menjadi rimba pustaka yang berucap dalam berbagai bahasa yang mampu Munah pahami.
Munah sesungguhnya wanita yang luar biasa. Selain kebiasaannya membuatkan kopi tiap pagi, Munah pun pandai memasak. Kalau saja dia masih punya cukup waktu di luar kesibukannya mengurus saya dan ketiga anak kami, plus rapatnya jadwal pengajian dan mengajar mengaji anak-anak di kampung ini, Munah pasti sudah membuka warung nasi bagi pekerja pabrik sumpit di seberang jalan. Dari keseluruhan hidupnya itu sulit bagi saya untuk menemukan kerut lelah di wajahnya. Sukar pula mengingat satu kelulhan yang keluar dari mulutnya. Munah memang luar baisa. Tinggal kini saya sedang menimbang-nimbang. Apakah kesalahannya membuat kopi hari ini akan mengurangi keluarbiasaannya itu.
“Oh, sudah diminum tho? Kok Cuma sedikit? Nggak diabisin?”
Aduh! Entah apa lagi yang ada di kopi ini. Tiba-tiba saja lambung saya sakit. Nyeri sekali. Keringat saya pun mulai bercucuran. Remasan di perut saya tidak juga membuat sakitnya mereda. Pasti ada sesuatu dengan kopi ini. Tentu ini rencana Munah. Entah apa yang dia tambahkan dalam gelas kopi saya. Reaksinya begitu hebat dan cepat. Beberapa teguk saja saya sudah dibuatnya terkapar. Kau hendak bermaksud apa denga kopi ini Munah? Apa kau ingin melakukan pembalasan terhadap sikapku padamu selama ini? Sekejam ini kah?
“Lha, Bapak ini kenapa?”
Ah, tidak usah berpura-pura Munah. Kau pasti sudah membayangkan nyeri yang saya derita ini. Perut ini seperti dicabik-cabik. Sakit luar biasa. Tidak bisakah kita melakukan kompromi, Munah? Seperti yang selalu kau ajarkan pada anak-anak. Kenapa tidak mencobanya kali ini pada saya. Barangkali saja saya bisa berubah, mau mendengar atau berucap terima kasih. Memujimu atau memberimu senyum. Bagaimana? Apakah sudah terlalu terlambat sekarang?
“Hmm, baru kerasa sekarang, ya? Lambungnya mulai sakit?”
Ya. Dan tak tertahankan! Sakitnya sudah menjalar ke sendi-sendi. Entah dari mana kau dapatkan racikan keparat itu, Munah. Sebab sepertinya itu telah bekerja dengan baik. Sekarang saya hanya mampu memohon padamu Munah…, tolonglah saya…ampuni saya!