Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lollipop

12 Januari 2012   07:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:59 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:http://salmiahehehe.blogspot.com/2010/07/

LOLLIPOP

Oleh: Ramdhani Nur


[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="sumber:http://salmiahehehe.blogspot.com/2010/07/"][/caption]

Keparat! Masih juga di sana dia. Gigih betul.

Langkahku batal dilanjutkan mendekati tikungan terakhir menuju tempat kosku. Keparat itu sudah berdiri tepat di depan pintu kamar. Seperti kurang sangar, dia malah menambahkan dua teman bajingannya untuk memperdayaku. Sialan betul. Kurang percaya apa lagi? Jangankan lima juta, duit seratus ribu pun susahnya mati-matian aku dapatkan. Mereka pikir orang sepertiku bisa dengan mudahnya menghasilkan uang setelah lima belas hari disiksa di tahanan Polsek. Seluruh polisi itu tahu betul semua tindakanku selepas dari kerangkeng. Mereka sepertinya punya banyak hidung untuk mengendusku di mana saja. Sekali kedapatan mengacau lagi, jeruji builah yang bakal mengurungku kemudian. Para keparat itu semuanya penjahat. Seharusnya mereka paham juga situasi ini, bukannya menagih seenaknya.

“Bang, dicariin ma tu orang!”

Aku hampir menabraknya, ketika kuputuskan untuk berbalik badan dan segera menghindar. Ada yang mesti kuamanatkan jelas-jelas pada tetangga kurusku ini. “Denger, ya! Kalau sampe gua kedapatan bonyok dipukulin tu orang-orang, keluarga lo bakal nangisin mayat lo! Karena infonya pasti dari lo, kagak ada orang lain yang mesti gua tuduh!”

Si kurus itu terdiam. Matanya hanya sanggup menatap sorotku tak sampai sedetik. Kecuali dalam situasi ini, aku pasti iba juga melihatnya mengkerut ketakutan seperti itu. Peduli setan. Aku kembali bergegas. Jika tak segera kabur dari tempat ini, setan-setan itu akan segera mencabikku.

“Mau dibawa kemana pakaian saya, Bang?”

Entah ide dari mana--tapi pasti ada manfaatnya, kemeja dan celana jin yang tengah dijemur di pinggir gang si kurus itu aku sikat sekenanya. Membuat beberapa pakaian lain berjatuhan ke got.

Pinjem!”

*****

Hembusan dingin menyentuh tengkukku. Sudah lama aku tak merasakan ini. Tercium juga dengan sangat kuat aroma wewangi yang entah datangnya dari mana. Orang-orang dengan pakaian yang indah itukah? Lantai berkeramik mengkilap atau dari penjual parfum di muka lorong mol yang baru saja aku masuki. Bisa jadi dari ketiganya. Ini tempat persembunyian sempurna. Para keparat itu tak akan berpikir jika penjahat sepertiku bisa dengan leluasanya masuk dan menikmati ketengan di sini. Ini berkat tetanggaku yang kurus itu juga. Tak kukira ukuran baju dan celananya pas betul di tubuhku.

“Tunggu sebentar di situ!”

Seorang ibu baru saja berlalu di hadapanku. Kasir tempat pembayaran yang dia tuju lebih jauh jaraknya dari titik pertama kali aku masuk ke mol ini. Dua kali pandangannya tertoleh pada lelaki penjilat lollipop itu sebelum konsentrasinya terfokus pada belanjaannya yang mulai dihitung. Penjilat lollipop itu duduk sendiri. Lidahnya merah sekali saat kulihat lebih dekat.

Dia tersenyum menelan lidahnya. Aku juga ikut tersenyum. Sekilas kuanggap ini pun sebuah senyum tentang kebebasan dari pengejaran para keparat itu, atau jaminan bahwa aku bisa menghidupi diri lebih lama.

Aku duduk tepat di sebelahnya. Mencoba menghadiahkannya lagi senyum yang lebih nyaman.

“Hallo…!”

“Halo!”

“Siapa namamu, Nak?”

*****

Cirebon, 12 Januari 2011
Sumber gambar dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun