“Sebenarnya aku belum mau mati,” kata Pamularsih saat Tugirah menggosok punggungnya dengan lembut. Sentuhan kasih seorang ibu kepada anak tercinta.
“Tapi sudah terjadi,” kata Tugirah seperti bergumam saja.
Dan;
“Bu Tugirah ingin tahu siapa dia?” tanya Pamularsih ketika tubuhnya telah tertutup kain kafan sepenuhnya. Tugirah menggeleng.
Kedua tangannya terangkat. Berdoa.
Terselip juga tema yang menunjukkan kepasrahan terhadap risiko pekerjaan. Sebab ada hal yang kontradiktif atas yang diucapkan Tugirah di awal cerita dan sikapnya di akhir cerita.
Pada awal cerita Tugirah berucap:
“Sudah waktunya. Tapi aku bersumpah, ini yang terakhir,” dia berkata pada refleksi diri yang memantul sehadap cermin. Rambut panjangnya di sisir lalu digelung.
Namun Tugirah tetap melakoni pekerjaannya itu ketika ada lagi yang meninggal, seperti dikisahkan pada bagian akhirnya.
Cukup, bisiknya. Lalu dengan ketenangan yang luar biasa dia merebahkan dirinya pada dipan kayu di pojok kamar, menghadap tepat kepada jendela yang terbuka. Keseluruhan indera dia padamkan.
Di depan pintu, anak tertua Tugirah menghadapi tamunya.