[caption id="attachment_82017" align="alignnone" width="475" caption=""][/caption]
Siang ini saya bertemu dengan seorang sahabat lama, Afrizal Ahmad Lubis, pengusaha muda sukses sekaligus anggota DPRD di daerah asalnya. Sebuah pertemuan yang tidak disengaja saat dia hendak membeli koran, di sebuah sudut jalan di kota Bandung. Tentu saja dia berada dari balik jendela mobilnya, dan memerintahkan sang sopir untuk membelikannya. Saya kira ini perjalanan tidak resminya, karena saya cuma melihat dia seorang diri di jok belakang mobil.
“Dayat?” begitulah ucapannya dibarengi ekspresi kaget bercampur girang saat tatapannya menemukan raut saya. Mobil pun segera berhenti dan keluarlah dia dari pintu samping.
Saya percaya, bahkan untuk seorang sahabat, wajah dan tubuh saya akan sulit dikenali setelah lebih dari 10 tahun. Saya jauh lebih kurus, kuyu dan terlihat sangat tua dari usia sesungguhnya. Afrizal atau saya sering memanggilnya Izal saat sama-sama kuliah di Bandung dulu pasti ragu mendapatkan sahabatnya seperti sekarang. Apalagi kebetulan saya sedang memakai kaos lusuh dan topi yang hampir menutupi sebagian wajah saya.
“Hidayat Akbar kan?” yakinnya lagi setengah memajukan kepalanya.
Kecuali lebih gemuk dan terawat, wajahnya sama sekali tidak berubah. Rambutnya masih ikal pendek, dengan kontur muka yang tegas tipikal orang batak. Alis tebalnya seperti payung yang mengokohkan matanya yang tajam. Hidungnya memang termasuk mancung dibanding kebanyakan mahasiswa asal parahiangan yang terlihat lebih pesek. Dan yang pasti saya masih menemukan senyum khasnya yang benar-benar jujur mengekspresikan perasaannya. Ini senyum yang sama saat dia memintaku dikenalkan pada Nenden Mulyasari, mahasiswi Farmasi di kampus sebelah. Saya mengenalnya karena dia adalah teman saya sejak masa sekolah dasar. Seorang wanita yang teduh dan anggun.
“Kau mau janjikan aku apa jika aku kenalkan nanti?” tanyaku saat itu.
“Apa sajalah yang kau mau!” Ah, tentu saja dia berani mengatakan itu, bahkan jika saya meminta dia melunasi uang semesteran pun pasti dia akan menyanggupinya. Dia berasal dari keluarga kaya. Orang tuanya mempunyai kebun kelapa sawit di Riau. Kuliah di rantau baginya bukan sebuah jalan untuk mendapatkan bekal agar bisa menjadi kaya seperti pikiran kebanyakan mahasiswa disini. Dengan kuliah atau tidak dia tetap jadi satu-satunya orang yang akan meneruskan usaha perkebunan ayahnya.
“Aku belum membuat tugas Perundang-undangan Daerah. Buatkan saja itu.”
“Dayat...Dayat! Kenapa kau selalu malas membuat tugas,” kernyitnya tegas. “Heran aku! Kau sama sekali tidak bodoh. Nilai-nilaimu makin baik belakangan ini. Itulah mengapa kita berani memilihmu jadi ketua Senat.”
“Aku terlalu sibuk Zal! Waktuku banyak tersita,” saya berdalih. Dia tampak tidak setuju meski sama sekali tidak dia ungkapkan “Bagaimana? Masih mau aku kenalkan pada Nenden tidak?”