Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan dengan Sahabat

28 Desember 2010   01:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:19 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jaga kesahatan!” tambah istrinya yang begitu terlihat pilu. Saya mengangguk sambil tersenyum. Anggukan untuk semua harapan mereka, anggukan untuk rasa salut saya terhadap kemenangan perpisahan-perpisahan ini.

“Aku akan selalu menelponmu juga mengirimu surat!” janjinya sebelum benar-benar hilang di pintu keberangkatan.

Yah, mereka memang menelponku dan mengirimiku surat. Namun tak ada satupun yang saya balas. Saya sudah kehilangan hasrat. Efek perpisahan dan ketertinggalan itu membuat saya kehilangan teman berjuang dan medan untuk memperjuangkan sesuatu. Tidak ada lagi orang yang mengenal saya sebagai mahasiswa yang berani dan kritis terhadap jaman. Sejarah telah melemparkan saya ke dalam ruang yang mati dan sendiri. Hingga sisa waktu ini saya habiskan hanya untuk membangkitkan kenangan lama di hidup saya yang mulai berantakan. Keadaan tidak berdaya ini sama sekali tidak menjadi pertimbangan pihak Dekanat dan Rektorat untuk memberikan masa perpanjangan kuliah saya. Dua bulan setelah batas akhir semester, surat Drop Out pun saya terima.

Sempurnalah kehancuran ini. Enam tahun yang berakhir dengan sia-sia.

“Saya pikir Bapak ini Dayat sahabat saya dulu,” ungkapnya mulai melemah ketika dia belum juga mendapatkan jawaban saya. “Saya sengaja kemari dari perjalan Dinas saya di Jakarta. Berharap bertemu dengan teman-teman kuliah saya dulu. Terutama Hidayat Akbar. Dia sahabat saya yang paling mempengaruhi hidup saya. Dia yang mengenalkan saya pada seorang gadis yang menjadi belahan hidup saya dan keluarga. Dia yang sering mengingatkan saya atas keseimbangan ide dan realita. Dia yang mau berkorban menyelamatkan saya saat perjuangan reformasi dulu. Dia orang pertama yang saya ingat dan ingin saya ketahui keadaannya. Tapi saya tidak pernah mendapatkannya.”

Nyaris saja saya terbawa perasaannya saat mengatakan itu semua.

“Dua bulan lalu saat saya kemari, saya mengunjungi kerabatnya di kampung. Mereka menceritakan keadaan dirinya sekarang. Saya sangat prihatin. Tapi percayalah, keadaan tidak menyurutkan arti persahabatan. Saya tidak ingin membiarkannya hidup dalam kesusahan, seperti dia yang tidak meninggalkan saya dalam kesulitan. Saya ingin menjadi sahabat terdekatnya dikala dia susah.”

Saya mulai sedikit bereaksi saat matanya yang mulai merah itu kerap berkedip.

“Dia pasti sangat berarti buat Bapak?” selaku dipenuhi deheman di tiap katanya.

“Ya. Dan saya juga ingin membuat diri saya berarti buatnya. Saya ingin mempercayakan pada seseorang untuk memimpin cabang perusahaan saya disini. Dan cuma dia yang saya ingat. Saya tahu dia tidak suka pada kebaikan yang datang dari balas budi. Tapi ini bukan balas budi. Ini sesuatu yang diperbuat seseorang terhadap sahabatnya.”

Saya tertegun. Sebuah tawaran memimpin perusahaan. Itu pasti bisa mengubah keadaan saya saat ini juga masa depan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun