Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Misteri Kutang di Dalam Mobil

10 Oktober 2010   05:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:33 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini punya siapa?" Sebuah kutang menggantung di depan mata saya. Krem, berenda di bagian tepi dan harum sewangi hand body. Weleh, kalau istri saya sampai bertanya begitu, artinya itu benar-benar bukan miliknya. Pastilah! Yang ini lebih kecil. Mana bisa muat di badan dia. Kecuali kalau ini terjadi lima belas tahun lalu. Tapi sungguh saya sama sekali tidak mengenali kutang ini. Apalagi pemiliknya. Luar biasanya lagi kutang krem ini ditemukan istri saya tergolek pasrah di atas jok belakang mobil saya saat hendak berangkat kerja. Sempurna! Sehebat apapun saya menyangkal, istri saya akan lebih percaya pada bukti yang dia punya daripada penjelasan saya yang terkesan mencla-mencle.

"Sudah nggak doyan ya, sama kutang Mami?" lanjut istri saya melotot. Tak perlu dibayangkan! Dalam situasi seperti ini saya lebih memilih berhadapan dengan dua ekor macan sekalian. "Dengar! Mulai saat ini jangan pernah berpikir untuk pulang sebelum kamu tunjukkan cewek itu ke Mami!"

Kutang krem itu melayang cepat membentur wajah saya. Belum sempat saya berkata-kata, pintu rumah dibanting keras. Bruk! Tertutuplah sudah perbincangan di antara kami.

Mimpi buruk dimulai. Istri saya itu tidak pernah main-main soal ancam-mengancam. Saya mengalaminya beberapa bulan lalu, terpaksa harus berpuasa tiga minggu di atas ranjang gara-gara keceplosan menyebut nama seorang wanita saat mengigau. Lely, tetangga baru yang sintal. Sebentar...jangan salah sangka! Saya bukan jenis pria yang senang berselingkuh. Saya menganggap insting liar lelaki saat mengapresiasi wanita yang cantik dan sexy bukanlah sebuah tanda selingkuh. Lha wong itu tiba-tiba muncul di otak bawah sadar kok. Tidak pernah dipaksakan terasa di hati apalagi yang di bawahnya lagi. Ah, saya harus segera fokus ke masalah ini. Bahaya sudah mulai mengintip hubungan pernikahan kami. Saatnya saya berpikir keras mengurai kronolginya dari awal sampai tragedi itu bermula, sambil juga berpikir dimana saya akan tidur malam ini.

* * *

"Yakin, kalo ente emang nggak maen cewek di dalem mobil?" tuding Kusumo cengengesan. Teman sejawat saya.

"Sumpah, Mo! Kalo saya bener sampai bersenang-senang dengan kutang cewek di dalam mobil semalem, pasti akan saya ingat! Dan saya nggak mungkin ceroboh ninggalin barang bukti disana".

Kusumo manggut-manggut. "Selain ente, siapa lagi kira-kira yang make itu mobil?"

Bener juga! Siapa tahu ada pengemudi liar yang sempat menjajal mobil saya. Tapi siapa? Mami? Tidak mungkin! Istri saya tidak bisa nyetir. Dia malah tidak bisa membedakan mana pedal rem dan pedal gas. Manik si sulung? Kayaknya tidak mungkin juga. Umurnya baru dua belas tahun. Saya sering memarahinya karena kerap tetap mencoba menyetir setelah pernah menabrak pagar rumah. Seperti ibunya, dia punya juga kemampuan berkelit saat ditekan. Tapi akhirnya jera juga ketika uang jajannya saya stop selama seminggu. Jadi siapa lagi?

"Hendra?"

Ah, ya! Kenapa terlewatkan? Dia memang suka meminjam mobil saya untuk keperluan yang tidak jelas.

"Hendraaaaaaa!"

* * *

Hendra, bawahan saya itu tertunduk, padahal saya tidak sedang memarahinya. Cuma pertanyaan biasa tanpa ancaman. Yang ada di tangan saya hanya kutang krem, mana ada orang terancam gara-gara kutang. Eh, cuma saya saja barangkali.

"Sungguh, Pak! Saya cuma pake buat makan siang. Itu juga sudah minta ijin sama Bapak".

Ah, masa sih? Pasti saya sedang sibuk saat itu. Saya memang suka kehilangan fokus pada situasi demikian. Mudah saja saya akan berkata 'ya' tanpa saya sadari. Dan si Hendra itu tahu benar kelemahan saya.

"Bapak yang ngasih kuncinya sendiri. Sekalian titip nasi padang, kata Bapak".

Iya sih, saya memang makan nasi padang kemarin. Rendangnya agak kenyal tapi sambalnya luar biasa. "Terus kamu pergi sama siapa?"

"Iii...ismi, Pak!"

* * *

Perempuan langsing dengan rok merah mini lima centi di atas lutut melenggang memasuki ruang kerja saya. Dia kemudian menaruh pantatnya di kursi lipat di depan saya. Interogasi dimulai. Hari ini banyak pekerjaan yang saya tepikan gara-gara kutang misterius ini. Tanda tangan, deadline, meeting batal terbengkalai. Semoga ini cepat selesai.

"Kutangmu ukuran berapa?" tanyaku serius.

"Iih, Bapak!" kernyitnya menjauh. "Kok nanyanya gitu?"

"Sorry, Mi! Ini masalah serius, hubungan pernikahan saya terancam bubar gara-gara kutang".

"Lha, terus hubungannya sama Ismi apa?"

"Ini!" Saya mengacungkan kutang sensasional ini di hadapannya.

"Idiiiih, Bapak!!!"

"Ini punyamu bukan?"

Matanya yang bercela itu melotot meneliti kutang yg kupegang. Cukup lima detik dia sudah mengambil keputusan. "Bukan!"

"Yakin?"

"Yakin, Pak! Saya nggak punya yang model begitu, lagian ukuran cupnya lebih kecil". Mataku terjebak jatuh ke dadanya. Sudah kuduga..! Eh, anu maksud saya, saya sudah percaya Hendra dan Ismi memang tidak berbuat apa-apa di dalam mobil kemarin. Meski mereka sedang dimabuk asmara, saya yakin mereka tidak berani muntah asmara di mobil saya. Sial! Kalau begini faktanya saya jadi kehilangan alibi. Penjelasan apa lagi yang tersisa dari misteri kutang ini. Semua sisi kecurigan sudah terkuak dan tidak menghasilkan apa-apa selain misteri baru. Ujung-ujungnya tetap saya yang tersudut. Tapi saya tidak boleh pasrah dan mengalah pada tuduhan itu. Kebenaran akan terangkat. Kebenaran akan menang. Saya akan mencarinya dimana pun dia berada. Hmm, tapi kalaupun sulit juga bertemu, sepertinya saya terpaksa harus memanipulasi kebenaran. Memang melanggar kaidah hukum. Tapi membiarkan saya terus terpidana itu malah jelas-jelas mengimpotensi hukum. Karena saya benar-benar tidak bersalah.

"Segitu aja, Pak?"

"Eh, iya! Kembali bekerja! Nanti saya panggil lagi kalau dibutuhkan".

"Iya, Pak!"

Ismi berlalu dari ruang kerja, meninggalkan saya dan seonggok kutang centil yang menggoda minta dibongkar.

* * *
Berlanjut.........

Cirebon, dari musim lendir hingga musim sampah. (dan belum kelar juga)

*foto dari google

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun