Ini malam kesekian saat gelap dikagetkan oleh semburan kembang api yang menyulut ke langit. Anak-anak kecil bersorak menyanjung indahnya tebaran warna yang terciprat di angkasa. Orang-orang tua mereka tersenyum bahagia, merasa keceriaan si kecil bisa dilukis oleh kembang-kembang api yang mereka beli sore tadi. Di sebuah taman kompleks semua itu terjadi disuguhi tarian kembang api genit yang berjuit diantara samar takbir tarawih di mesjid-mesjid.
"Bagus ya, tong(1?" pendorong gerobak rongsok meluncur lambat. Seorang anak kecil menyembul dari dalamnya. Matanya ikut biru merah saat hamburan cahaya menerpa wajah gelapnya. Kekaguman jelas menempel di mulutnya yang terus menganga.
Satu lagi kembang api meluncur gagah. Byar! Menyala indah. Satu kedipan saja yang direlakan anak kecil itu terlepas dari tontonan yang menghipnotisnya. Bandannya kemudian bergeliat memutar mengikuti panggung ketakjubannya yang menjauh saat sang pendorong gerobak melekaskan kembali lajunya. "Wis bengi! Kesian mimi dewekan ning umah. Esuk balike jalan mene maning."(2
Dan memang tertepati. Dua manusia itu melewati jalan yang sama keesokannya. Menikmati keindahan yang sama dengan hari kemarin. Kecantikan kembang api di malam hari. Dan keteduhan senyum orang tua yang bahagia. Dua hal yang bermimpi dinikmati oleh masing-masing manusia itu. Lalu sepuluh menit lebih lama dari kemarin gerobak itu mengabur di sudut gelap jalan.
* * *
Ini malam kesekian sejak terakhir pendorong gerobak itu melintas di taman kompleks yang masih saja meriah. Di suatu pelosok, si pendorng gerobak berlari menggamit sebatang kembang api menuju anaknya. Keriangan pecah di wajah si anak. Tarian suka cita berdansa dengan kembang api yang segera direbutnya. Sang ayah segera menuju dapur.
"Nyili korek, mi!"(3
"Nggo apa?"(4
"Murubnang kembang api."(5
"Kembang api sing ndi?"(6
"Tuku mau."(7
"Oli duit tah bapake? Piraan jeh?"(8
"Rong pulu ewu."(9
"Ya Allah...larang pisan! Nggo apa si tuku kembang api segala? Eman temen. Deleng kuh, beras tinggal sekaleng maning. Durung ngko nggo bayar zakat. Mimi wis langka duit. Isin ngutang bae bari wak Muksin. Priben jeh bapak kuh, ngajari sing beli bener bae ning bocah."(10
Si pendorong gerobak terhujam bisu. Dia ingin berkata sesuatu. Namun tangannya terlanjur meraih korek api untuk kemudian berlalu.
Beberapa saat kemudian langit di luar rumah terang warna-warni beberapa detik. Sang anak bersorak dan menari. Sang ayah tersenyum, kebahagiaannya harus terpecah oleh sekaleng beras tersisa yang mengusik pikirannya.
Cirebon, 3 September 2010
_________________________
Bahasa yang digunakan masyarakat pantura timur Jawa Barat.
(1. Tong/otong, sapaan untuk anak lelaki kecil
(2. Sudah malam, kasian ibu di rumah. Besok kita lewat jalan ini lagi
(3. Pinjam korek, bu.
(4. Buat apa?
(5. Menyalakan kembang api
(6. Kembang api dari mana?
(7. Baru beli tadi
(8. Bapak dapet uang? Berapa harganya?
(9. Dua puluh ribu
(10. Ya Allah...mahal sekali. Buat apa beli kembang api segala? Sayang banget. Lihat, beras kita tinggal sekaleng lagi. Belum lagi buat zakat. Ibu sudah tidak punya uang. Malu minjem terus ke wak Muksin. Bagaimana bapak ini, malah ngajari anak yang tidak benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H