Dalam beberapa dekade terakhir, isu lingkungan semakin menjadi topik yang seringkali diperbincangkan. Baik dalam diskursus ilmu pengetahuan, maupun seluruh elemen masyarakat. Disoroti oleh masyarakat nasional maupun internasional. Setiap tindakan perusakan lingkungan bahkan yang berpotensi merusak lingkungan akan menjadi sasaran kritikan dari berbagai kalangan aktivis, akademisi, dan masyarakat umum. Keresahan ini menjadi wajar, sebab kerusakan lingkungan akan berdampak negatif pada kehidupan manusia.
Sektor yang sangat terdampak juga adalah industri ekstraktif, sebab industri ekstraktif merupakan faktor antropogenik dari kerusakan lingkungan. Di Indonesia, berdasarkan data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dalam dua puluh tahun terakhir, terjadi peningkatan emisi sektor energi lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi. Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia. Kemudian hilirisasi pertambangan mineral kritis seperti nikel juga berdampak pada deforestasi hingga 25.000 hektar dalam 20 tahun terakhir dan akan terus meningkat mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 hektar yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2.
Jika tidak ada perubahan dari pola perilaku manusia terhadap alam, maka kepunahan umat manusia menjadi hal yang semakin nyata di hadapan mata. Bukan manusia, jika tidak bisa untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut. Kalangan akademisi mulai memproduksi berbagai konsep untuk menghadapi kondisi tersebut. Pembangunan Berkelanjutan merupakan hasil karya para akademisi untuk merespon kondisi lingkungan yang diperburuk oleh berbagai bisnis---yang salah satunya adalah industri ekstraktif. Fakta kerusakan lingkungan juga menjadi ancaman terhadap keberlanjutan industri ekstraktif. Jika para pengusaha masih ngotot untuk melanjutkan usaha-usaha tersebut, maka kemarahan publik akan semakin meningkat dan bisa saja timbul perlawanan. Hal ini akan berimplikasi pada terhambatnya sirkulasi kapital.
Frans Magnis suseno menjelaskan bahwa kelas kapitalis memiliki kemampuan untuk berkamuflase dan kemampuan untuk menyesuaikan dengan keadaan (Suseno, 1999). Dalam konteks ini, narasi pembangunan berkelanjutan menjadi kedok para pengusaha untuk terus beroperasi di tengah-tengah kondisi lingkungan yang semakin memburuk. Konsep pembangunan berkelanjutan telah menjadi pusat perhatian dalam upaya global menghadapi tantangan lingkungan. Dengan fokus pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan sering dianggap sebagai solusi utama untuk mengatasi krisis ekologis. Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena eko-kapitalisme, yaitu adopsi narasi keberlanjutan oleh korporasi besar. Eko-kapitalisme, yang memanfaatkan narasi pembangunan berkelanjutan, lebih berfungsi sebagai alat untuk melanggengkan akumulasi kapital daripada menawarkan solusi nyata untuk krisis lingkungan dan sosial.
Eko-kapitalisme menawarkan ilusi bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dapat dicapai melalui inovasi teknologi hijau dan mekanisme pasar tanpa mengorbankan akumulasi kapital. Kondisi ini dikenal dengan The Lauderdale Paradox (Foster, dkk, 2011). sebuah paradox yang menunjukan adanya kontradiksi antara dua tujuan utama. Dalam hal ini, pertentangan antara kepentingan untuk meningkatkan ekonomi dengan kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan umum atau kesejahteraan masyarakat melalui redistribusi kekayaan, peningkatan layanan publik, dan kebijakan sosial yang mendukung rakyat.
Kritik terhadap Eko-Kapitalisme
Eko-Kapitalisme dalam bahasa lain juga disebut sebagai green capitalism, di mana hal ini pernah dibahas oleh Fred Magdoff dan John Bellamy Foster. Buku ini menguraikan bahwa pengentasan persoalan lingkungan tanpa mengubah watak kapitalistik dari sistem ekonomi merupakan sebuah kenaifan (Magdoff dan Foster, 2018). Gaya hidup hijau menjadi tren yang meluas dan juga menguntungkan. Perlombaan di antara korporasi untuk menunjukan sisi hijau dan juga punya tanggung jawab sosial (Magdoff dan Foster, 2018).
Terdapat beberapa korporasi raksasa seperti Hewlett-Packard, Dell, Johnson & Johnson, Intel, dan IBM, pada tahun 2009, Majalah Newsweek mengklaim bahwa perusahaan-perusahaan tersebut adalah perusahaan paling hijau, hanya karena mereka menggunakan sumber energi terbarukan, melaporkan emisi gas rumah kaca mereka (atau ada upaya menguranginya), serta secara resmi menerapkan kebijakan lingkungan (Magdoff dan Foster, 2018). Eko-kapitalisme, yang memanfaatkan narasi pembangunan berkelanjutan untuk terus melakukan akumulasi kapital melalui eksploitasi sumber daya alam. Artinya keseimbangan antara kepentingan lingkungan dengan sistem ekonomi yang kapitalistik tidak berjalan secara seimbang, karena disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, pada tingkat ideologis, paradigma kapitalistik dianggap tidak kompatibel dengan tujuan keberlanjutan untuk kelestarian lingkungan. Kapitalisme mendorong pertumbuhan tanpa batas yang memperparah eksploitasi alam dan menciptakan kerusakan ekologis yang tidak dapat diperbaiki (Halit, 2024). Dengan tujuan akumulasi kapital maka biaya produksi harus ditekan sehingga bisa menghasilkan nilai lebih yang besar. Selain biaya produksi, biaya untuk eksternalitas negatife juga harus ditiadakan. David Harvey: "Jika kapitalisme dipaksa menginternalisasi" semua biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya "dia akan gulung tikar (Magdoff dan Foster, 2018).
Kedua, narasi keberlanjutan digunakan oleh korporasi sebagai tameng dan alat pencitraan. Â Fenomena ini dikenal sebagai greenwashing, di mana perusahaan mengklaim produk atau operasinya ramah lingkungan, padahal kenyataannya tidak demikian. Istilah greenwashing untuk pertama kalinya digunakan oleh Jay Westervelt---seorang ahli lingkungan pada tahun 1986 (Budianto, 2024). Istilah ini bermula dari sebuah tulisan yang mengkritik sistem manajemen handuk di banyak hotel. Sementara itu, istilah tersebut diartikan juga di dalam Webster's New Millennium Dictionary of English sebagai strategi komunikasi mempromosikan program ramah lingkungan sebuah entitas tertentu yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari aktivitas perusakan lingkungan oleh entitas bersangkutan (Budianto, 2024).
Di Indonesia, kebijakan yang bisa diidentifikasi sebagai praktik greenwashing adalah penggunaan kendaraan listrik yang masif dipromosikan pemerintah melalui pemberian subsidi agar masyarakat tertarik membelinya. Digadang-gadangkan bahwa penggunaan kendaraan listrik dapat mengurangi emisi karbon karena lebih hemat dan "hijau", namun pada faktanya ternyata tidak sepenuhnya benar, setidaknya hingga saat ini. Sebab proses mendapatkan energi listrik yang sebagian besar masih mengandalkan PLTU berbahan bakar batubara yang merupakan energi kotor.
Ketiga, ketimpangan global, teknologi hijau dan kebijakan keberlanjutan sering kali lebih mudah diakses oleh negara-negara maju, sementara negara-negara berkembang menanggung beban lingkungan dan sosial. Sebab produksi kendaraan listrik membutuhkan bahan baku seperti lithium yang sebagian besar diekstraksi dari negara berkembang. Proses ekstraksi ini sering kali merusak lingkungan setempat dan menciptakan konflik sosial tanpa memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi masyarakat lokal, bahkan makin memperburuk kondisi masyarakat lokal. Misal dalam hal perdagangan karbon yang bertujuan untuk mengurangi emisi karbon secara global. Sistem ini akan merugikan negara berkembang sebagai penyedia kredit karbon yang akan dirugikan dari sisi ekonomi, karena biaya yang murah.
MacKenzie & Pritchard (2021) mengkritik penggunaan hutan sebagai alat "perbaikan karbon" karena dianggap tidak adil, terutama ketika masyarakat pedesaan miskin harus mengorbankan mata pencaharian mereka demi kepentingan negara atau individu kaya yang tetap mengkonsumsi bahan bakar fosil. Contoh ketidakadilan ini meliputi pembatasan akses sumber daya hutan, pemindahan masyarakat, perampasan lahan, dan asimilasi budaya. Secara ekologis, pendekatan ini juga merugikan karena mengabaikan nilai lingkungan lain, seperti keanekaragaman hayati dan integritas ekosistem, serta menunda pengurangan emisi GRK langsung. Kritik ini tidak hanya menyoroti dampak pelaksanaan yang buruk, tetapi juga desain strategi "perbaikan karbon" yang lebih mengutamakan pengimbangan emisi daripada pengurangan langsung (Vian, dkk, 2010).
Metanoia Lingkungan: Perubahan StrukturÂ
Metanoia dapat diartikan sebagai bentuk pertobatan. Maka metanoia lingkungan sebagai upaya untuk kembali hidup selaras dengan alam, tanpa melakukan tindakan-tindakan yang merugikan lingkungan lagi. Pertobatan dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Kalangan moralis, berpandangan bahwa perlu untuk melakukan perubahan perilaku manusia dengan alam, maka solusinya adalah dengan mengkampanyekan etika lingkungan ekosentrisme. Berbeda dengan kalangan moralis, kalangan marxis berpandangan bahwa pertobatan harus dilakukan dengan menuntut mereka (kapitalis) untuk bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, dilakukan dengan menghentikan proses eksploitasi. Kalangan marxis meyakini bahwa pemulihan lingkungan tidak dapat diperbaiki hanya dengan mempercayai kemampuan kapitalisme untuk beradaptasi atau berkembang sesuai dengan tuntutan hijau (Naomi, 2010). Artinya perubahan struktur ekonomi, hukum, politik yang berwatak kapitalis menjadi sebuah keharusan.
Senada dengan pernyataan Chico Mendes---seorang aktivis lingkungan Brazil, baginya  "Environmentalism without class struggle is just gardening." Pernyataan ini memiliki makna bahwa upaya untuk memperbaiki dan menjaga lingkungan akan akan sia-sia jika akar masalahnya (struktur ekonomi yang tidak adil) tidak diatasi. Menyelesaikan akar masalahnya dilakukan dengan mengubah struktur ekonomi, sosial, dan politik yang berwatak kapitalistik
Referensi:
Foster, John, Brett Clark, and Richard York. The Ecological Rift: Capitalism's War on the Earth, 2011.
Halit GZELSOY. "Kohei Saito, Marx in the Anthropocene: Towards the Idea of Degrowth Communism (Cambridge University Press, 2023, 276 Pp.)." Social Review of Technology and Change 2, no. 1 (2024): 104--7.
Magdoff, Fred, and John Bellamy Foster. Lingkungan Hidup Dan Kapitalisme: Sebuah Pengantar. Lingkungan Hidup Dan Kapitalisme: Sebuah Pengantar. Cetakan I. Serpong: CV. Marjin Kiri, 2018.
Naomi Alisa Calnitsky. "The Ecological Rift -- Capitalism's War on the Earth, by John Bellamy Foster, Brett Clark, and Richard York. New York: Monthly Review Press, 2010. $17.95 U.S.; Paper. ISBN: 978-1-58367- 218-1. Pages: 544." Environmental Politics, 2012, 285--87. https://doi.org/10.1080/09644016.2012.671611.
Suseno, Frans Magnis. Pemikiran Karl Marx "Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme." Cetakan ke. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Vian, Jessica Enara, Brian Garvey, and Paul Gerard Tuohy. "Towards a Synthesized Critique of Forestbased 'Carbonfix' Strategies." Climate Resilience and Sustainability 2, no. 1 (2023): 1--16. https://doi.org/10.1002/cli2.48.
Walhi, Corak Ekonomi Ekstraktif Masih Jadi Pilihan, Kerusakan Lingkungan dan Krisis Iklim  Semakin Mengkhawatirkan, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H