Diantara berbagai pembacaan tentang akar krisis lingkungan, salah satu yang muncul adalah pendekatan moral. Arne Naess mengungkapkan bahwa permalasahan lingkungan hidup itu berakar pada perilaku manusia terhadap alam, dan perilaku ini dipengaruhi oleh cara pandang manusia terhadap alam. Di mana pada cara pandang ini, alam dalam posisi yang tersubordinasi dari manusia. Sehingga muncul pandangan bahwa, manusia berhak untuk memanfaatkan alam sesuai keinginan manusia. Inilah yang menjadi dasar bagi manusia (para pengusaha) untuk melakukan eskploitasi alam secara terus menerus. Kerusakan lingkungan merupakan hasil yang diperoleh dari hubungan yang eksploitatif .
Kerusakan lingkungan bukan hanya dipandang sebagai sebuah kondisi terputusnya hubungan baik antara alam dan manusia. Lebih jauh diuraikan bahwa tidak baiknya hubungan alam dan manusia, sebagai dampak dari terputusnya hubungan langit dan bumi. Hal di inilah yang berusaha diuraikan oleh Seyyed Hossein Nasr, melalui bukunya yang berjudul "Problematika Krisis Spiritual Manusia Kontemporer", dia menggambarkan dengan baik mengenai akar dari krisis lingkungan.
Bencana Antroposentrisme
Kerusakaan lingkungan yang terjadi saat ini dapat dipandang sebagai akibat dari bencana antroposentrisme yang dipicu dari revolusi pengetahuan yang terjadi pada Era Renaisans hingga saat ini. Immanuel Kant, David Hume, Rene Descrates merupakan beberapa filosof yang mempromosikan gagasan antroposentrisme. Manusia digambarkan sebagai makhluk bebas yang dengan seluruh potensi yang dimilikinya, mereka dapat melakukan apa saja. Gagasan ini hendak menegaskan kekuasaan manusia atas dirinya.
Gagasan tersebut juga dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap pengekangan oleh kalangan agamawan yang terjadi selama berabad-abad. Artinya Era Renaisans dapat dikatakan sebagai tanda putusnya hubungan antara manusia dengan tuhan. Langit dan bumi tidak lagi harmonis.
Manusia menjadi entitas sentral dalam ekosistem kehidupan di Bumi. Entitas lainnya seperti alam dan hewan dipandang sebagai entitas yang kedudukanya lebih rendah daripada manusia. Dengan demikian manusia dipandang berhak untuk menggunakan setiap hal yang ada di alam semesta untuk kebutuhan dan kepentingan manusia.
Eksploitasi alam yang tujuannya adalah keuntungan ekonomi diyakini oleh manusia modern sebagai jalan menuju surga dunia (kebahagiaan). Sehingga alam dieksploitas secara terus menerus untuk mencari sesuatu yang pada prinsipnya tidak berada di luar manusia (bumi), namun di dalam diri manusia (langit). Brutalitas manusia dalam mengobrak-abrik alam menunjukan ada yang hilang dari diri manusia, sehingga berbagai cara dilakukan untuk mendapatkannya kembali.
Fakta ini menunjukan bahwa manusia modern telah kehilangan sebagian dari dirinya. Diri yang transenden --- yang terus berhubungan dengan langit. Ketidakterhubungan ini menyebabkan tidak adanya kedamaian di bumi. Kehancuran di bumi (krisis lingkungan) terjadi karena manusia tidak lagi terhubung dengan langit.
Oleh sebab itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku ini menegaskan bahwa krisis ekologi hanyalah manifestasi dari krisis rohani. Dan hal ini tidak dapat diselesaikan tanpa membangkitkan spiritualisme manusia. Menurut Nasr untuk bisa berdamai dengan Bumi, maka seseorang harus berdamai dengan Langit.
Hilangnya Sakralitas Alam: Sebuah Refleksi Metafisika yang Pudar
Bencana antroposentrisme berdampak sampai pada status ontologi alam yang direduksi hingga alam hanya dipandang hanya sebatas aspek materi. Warisan kosmologi pada abad pertengahan dianggap sebagai sebuah hal yang tidak dapat diterima oleh rasio, sehingga hal tersebut dikatakan sebagai takhayul.
Metafisika sebagai warisan para filsuf sebelumnya kemudian direduksi menjadi filsafat rasionalistik yang tunduk patuh pada tata aturan berpikir yang logis dan berpijak pada fakta-fakta empiris. Aspek ontologi dari filsafat yang ditujukan untuk mengetahui dimensi metafisik dari sebuah hal digantikan dengan cara pandang yang bersumber pada rasio dan pancaindera, sebuah pandangan yang kering dan mekanistik.
Hal di atas berimplikasi juga pada hilangnya warisan metafisis dari berbagai ajaran agama. Alam yang dahulunya dipandang sebagai tajalli (manifestasi) dari Tuhan tidak lagi digunakan sebagai dasar untuk berhubungan dengan alam.
Hilangnya sakralitas alam merupakan konsekuensi dari pergeseran pandangan terhadap wujud dan pengetahuan. Pengabaian metafisika dan pengurangan dimensi spiritual dalam ilmu pengetahuan modern telah menciptakan dunia yang tidak seimbang, kehilangan arah kosmis, dan jauh dari kesadaran akan hubungan yang mendalam antara manusia, alam, dan Tuhan.
Dengan kondisi demikian, tidak berlebihan jika dunia saat ini harus menoleh kembali pada warisan kekayaan peradaban timur yakni spiritualitas. Serta dijadikan sebagai pedoman dalam berkehidupan. Mengapa? sebab peradaban barat yang sekian abad lamanya bertahan dengan fondasi keilmuan modern---hanya rasionalisme dan empirisisme, hanya mendatangkan kerusakan. Masa depan umat manusia tidak secerah prediksi filosof-filosof pencerahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H