Legitimasi teoritis terhadap sistem hukum adat diperoleh dari berbagai teori seperti mazhab hukum sejarah, realisme hukum, sociological jurisprudence, dan living law yang digaungkan oleh Eugen Erlich, seluruh teori tersebut pada intinya bersepakat bahwa hukum haruslah lahir dari rahim masyarakat, artinya harus memiliki akar historis.Â
Namun secara faktual tidaklah demikian, metode transplantasi hukum menjadi trend hukum saat ini, di mana sistem hukum dari luar diupayakan untuk diterapkan di Indonesia, seperti yang telah terjadi semenjak Indonesia resmi berdiri sebagai sebuah Negara yang berdaulat di tahun 1945. Paradigma positivisme hukum menguat hingga saat ini, di mana paradigma ini mendapatkan kawan setia yang dikenal dengan sistem ekonomi kapitalis. Kedua-duanya lahir secara bersamaan yakni di abad 19, kemungkinan keduanya saling berkaitan, lebih jelasnya akan diuraikan di bawah.
Kelahiran sistem hukum modern di abad 19 berimplikasi pada sistem hukum lain yang sebelumnya telah eksis di berbagai negara salah satunya di Indonesia dengan sistem hukum adat. Implikasi seriusnya adalah kematian atau setidaknya terjadi disfungsi terhadap hukum adat, dimulai dari masuknya kaum kolonial kemudian berlanjut hingga era kemerdekaan, orde baru, dan reformasi. Hukum adat tidak berdaya bahkan dipandang tidak relevan lagi di hadapan sistem hukum modern, mengapa demikian?, singkatnya adalah karena ada pihak yang tidak diuntungkan dengan diberlakukannya sistem hukum adat, dengan kata lain proses industrialisasi menjadi terhambat.
Sistem Hukum Modern: Anak Kandung KapitalismeÂ
Sistem hukum selalu memiliki hidden agenda---selalu ada kepentingan kelompok tertentu yang diwakili, artinya sistem hukum tidak netral, pandangan demikian merupakan ciri dari paradigma kritis yang dalam diskursus ilmu hukum dianut oleh kalangan critical legal study (CLS).Â
Sistem hukum mulai masuk pada fase modern dimulai pada abad 19, dan karena pengaruh filsafat positivisme August Comte yang sangat mendewekan hal-hal yang sifatnya empirik, sehingga menyebabkan sistem hukum pada fase ini telah meninggalkan konsep hukum alam yang sarat dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan teologis. Selain pengaruh filsafat positivisme, terbentuknya sistem hukum modern juga dipengaruhi bahkan dapat dikatakan merupakan anak kandung dari sistem ekonomi kapitalisme, menurut Weber kapitalisme selalu diidentikan dengan dengan proses pemupukan keuntungan yang terus diperbesar. Pada sistem ini, jumlah dan macam produksi tidak dibatasi pada kebutuhan alamiah manusia, namun sebaliknya kebutuhan manusia yang terus dikembangkan agar dapat menampung hasil produksi, yang pada akhirnya menciptkan budaya konsumtif. Sistem ini menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tujuannya yakni profit.
Proses industrialisasi secara besar-besaran di daratan eropa, berimplikasi pada perubahan sosial, kultural, politik, ekonomi, dan juga hukum. Pada aspek hukum, secara nyata implikasinnya adalah terbentuknya sistem hukum yang formal rasional yang memiliki ciri sebagai berikut: ketentuan hukum tertulis, sistem pengadilan yang independen, prinsip kepastian hukum, kepatuhan terhadap prosedur hukum, pembagian kekuasaan.Â
Max Weber memberikan ciri pada sistem hukum modern di mana prosedur penyelenggaraan hukum berbasis pada rasionalitas dengan menggunakan metode deduksi yang sangat ketat. Di mana semuanya merupakan upaya untuk memberikan rasa aman kepada para pengusaha, sebab produksi ekonomi kapitalis membutuhkan tatanan sosial yang stabil dan dapat diprediksi, agar aktivitas ekonomi dapat berjalan dengan baik. Artinya sistem hukum modern lahir untuk melegitimasi sistem ekonomi kapitalis, Sajipto Rahardjo juga menjelaskan bahwa sistem hukum yang lama tidak dapat melayani bekerjanya sistem ekonomi kapitalis, maka lahirlah sistem hukum modern sebagai respom terhadap produksi ekonomi kapitalis. Itu sebabnya tidak dapat disangkal bahwa sistem hukum modern merupakan konstruksi dari tatanan sosial masyarakat Eropa Barat semasa berkembangnya kapitalisme abad 19.Â
Hubungan kapitalisme dengan hukum juga diuraikan dengan bagus oleh David M. Trubek yang memaparkan pemikiran Weber tentang hubungan keduanya, yakni sebagai berikut "his survey of types of law indicated that only modern, rational law, or logically formal rationality, could provide the necessary of calculability. Legalism supported the development of capitalism by providing a stable and predictable atmosphere;... legalism is the only way to provide the degree of certainty necessary for the operation of the capitalism system". Pandangan Weber senada dengan pandangan Boaventura De Sousa Santos yang menegaskan bahwa sistem hukum modern menjadi alat untuk mengatur ekonomi pasar. Terlihat bahwa hukum menjadi alat bagi kelas berkuasa untuk memudahkan mereka untuk melancarkan kepentingan mereka.Â
Hal di atas, bisa dilihat dari praktik hukum di Indonesia, sebagai misal pada era orde baru lahir tiga undang-undang yang dikatakan sebagai gerbang masuk modal asing, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, kemudian di awal reformasi, pada saat amandemen UUD 1945, dimasukannya Pasal 33 ayat (4) dan (5), sebagai bentuk kompromi dalam perdebatan antara kaum konservatif dan neoliberal. kemudian saat ini, dengan dibentuknya Undang-Undang Cipta Kerja---sebagai salah satu instrumen untuk menstimulus seluruh proyek strategis nasional (PSN).
Hukum Adat: Penghambat Sistem Ekonomi Kapitalisme
Hukum adat memiliki corak yang jauh berbeda dengan sistem hukum modern, di mana hukum adat tidak tertulis, dan dalam penerapannya lebih dinamis tidak seperti sistem hukum modern yang secara ketat menggunakan penalaran deduktif. Hukum adat juga memungkinkan untuk melibatkan banyak pihak dalam penyelenggaraan hukum.Â
Corak demikian, dipandang tidak dapat menjamin keberlangsungan sistem ekonomi kapitalisme, sebab sebagai berikut: Pertama, sistem hukum adat tidak aksesibiliti---tidak mudah diakses oleh semua orang, sebab tidak tertulis dan beragam. Kedua, tidak adanya waktu pasti dalam proses hukum. Ketiga, ketidakjelasan biaya dalam proses hukum. Terakhir Keempat, tidak prediktabiliti, dalam sistem hukum modern terdapat prediktabilitas di mana hukum jelas dan dapat diprediksi, sehingga memungkinkan pihak-pihak yang terlibat untuk membuat keputusan yang baik dan memahami konsekuensinya, namun berbeda dengan hukum adat.Â
Sebagai contoh, Hernando De Soto dalam tulisannya "The Death of Capital" dijelaskan bahwa tanah yang tidak bersertifikat adalah modal mati---sebab tidak dapat diagunkan dan dijual. Maka untuk menjadi modal hidup, tanah harus bersertifikat. Dalam sistem hukum adat, tanah-tanah ulayat tidak perlu untuk disertifikatkan sebab dimiliki secara komunal. Kebiasaan seperti ini dianggap memperhambat proses industrialisasi, artinya menghambat proses ekspansi modal.Â
Itu sebabnya, seluruh hambatan ini harus dihilangkan dengan mengubah sistem hukum adat dengan sistem hukum modern. Hal ini yang dilakukan oleh Belanda di tahun 1870-an, dengan dikeluarkannya Agrarische Wet 1870 (Undang- Undang Agraria) yang memperkenal konsep sertifikat tanah (akta eigendom), sekaligus menerapkan konsep domein verklaring---sebuah kebijakan di mana semua tanah adalah memiliki pemerintah belanda kecuali rakyat dapat membuktikan sebaliknya bahwa tanah tersebut adalah miliki mereka. Tujuan dari dibentuknya aturan tersebut adalah  untuk memberikan kebebasan dan jaminan keamanan kepada para pengusaha. Kelahiran peraturan tersebut juga merupakan respon terhadap situasi politik yang terjadi di Eropa, di mana telah terjadi proses industrialisasi besar-besaran. Tidak lama setelah peraturan tersebut dibentuk, banyak perusahan-perusahan eropa yang masuk ke Indonesia.
Sistem hukum modern berdampak positif pada sistem ekonomi namun dalam bidang lain menyisahkan kisah buruk---yakni tidak memenuhi rasa keadilan baik bagi manusia maupun lingkungan, mengapa demikian sebab basis filsafatnya positivisme yang memiliki ciri reduksionis, bebas nilai, deterministik, pembuktian empirik, yang pada intinya sistem hukum modern dalam pelaksanaannya mengabaikan hal-hal yang tak kasat mata (nilai, moral, etika). Itu sebabnya, tidak sedikit yang mengkritisi sistem hukum modern. Bahkan dalam diskurus pemikiran hukum, paradigma positivisme murni mulai dimodifikasi, terbukti dari bermunculannya paradigma hukum yang baru seperti postpositivisme, konstruksivisme, kritikal, dan holisitik, serta paradigma lain yang jauh lebih menarik bagi penulis yakni paradigma holisitik---yang berupaya mengintegrasikan aspek teologis, metafisis, dan positivis.Â
akhir tulisan ini, penulis ingin menegaskan bahwa kematian hukum adat bukan karena tidak lagi relevan sehingga tidak dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat baik tindak pidana maupun bentuk pelanggaran lainnya, melainkan karena semata-mata tidak dapat menjamin keberlangsungan sistem ekonomi kapitalisme.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H