Hukum adat memiliki corak yang jauh berbeda dengan sistem hukum modern, di mana hukum adat tidak tertulis, dan dalam penerapannya lebih dinamis tidak seperti sistem hukum modern yang secara ketat menggunakan penalaran deduktif. Hukum adat juga memungkinkan untuk melibatkan banyak pihak dalam penyelenggaraan hukum.Â
Corak demikian, dipandang tidak dapat menjamin keberlangsungan sistem ekonomi kapitalisme, sebab sebagai berikut: Pertama, sistem hukum adat tidak aksesibiliti---tidak mudah diakses oleh semua orang, sebab tidak tertulis dan beragam. Kedua, tidak adanya waktu pasti dalam proses hukum. Ketiga, ketidakjelasan biaya dalam proses hukum. Terakhir Keempat, tidak prediktabiliti, dalam sistem hukum modern terdapat prediktabilitas di mana hukum jelas dan dapat diprediksi, sehingga memungkinkan pihak-pihak yang terlibat untuk membuat keputusan yang baik dan memahami konsekuensinya, namun berbeda dengan hukum adat.Â
Sebagai contoh, Hernando De Soto dalam tulisannya "The Death of Capital" dijelaskan bahwa tanah yang tidak bersertifikat adalah modal mati---sebab tidak dapat diagunkan dan dijual. Maka untuk menjadi modal hidup, tanah harus bersertifikat. Dalam sistem hukum adat, tanah-tanah ulayat tidak perlu untuk disertifikatkan sebab dimiliki secara komunal. Kebiasaan seperti ini dianggap memperhambat proses industrialisasi, artinya menghambat proses ekspansi modal.Â
Itu sebabnya, seluruh hambatan ini harus dihilangkan dengan mengubah sistem hukum adat dengan sistem hukum modern. Hal ini yang dilakukan oleh Belanda di tahun 1870-an, dengan dikeluarkannya Agrarische Wet 1870 (Undang- Undang Agraria) yang memperkenal konsep sertifikat tanah (akta eigendom), sekaligus menerapkan konsep domein verklaring---sebuah kebijakan di mana semua tanah adalah memiliki pemerintah belanda kecuali rakyat dapat membuktikan sebaliknya bahwa tanah tersebut adalah miliki mereka. Tujuan dari dibentuknya aturan tersebut adalah  untuk memberikan kebebasan dan jaminan keamanan kepada para pengusaha. Kelahiran peraturan tersebut juga merupakan respon terhadap situasi politik yang terjadi di Eropa, di mana telah terjadi proses industrialisasi besar-besaran. Tidak lama setelah peraturan tersebut dibentuk, banyak perusahan-perusahan eropa yang masuk ke Indonesia.
Sistem hukum modern berdampak positif pada sistem ekonomi namun dalam bidang lain menyisahkan kisah buruk---yakni tidak memenuhi rasa keadilan baik bagi manusia maupun lingkungan, mengapa demikian sebab basis filsafatnya positivisme yang memiliki ciri reduksionis, bebas nilai, deterministik, pembuktian empirik, yang pada intinya sistem hukum modern dalam pelaksanaannya mengabaikan hal-hal yang tak kasat mata (nilai, moral, etika). Itu sebabnya, tidak sedikit yang mengkritisi sistem hukum modern. Bahkan dalam diskurus pemikiran hukum, paradigma positivisme murni mulai dimodifikasi, terbukti dari bermunculannya paradigma hukum yang baru seperti postpositivisme, konstruksivisme, kritikal, dan holisitik, serta paradigma lain yang jauh lebih menarik bagi penulis yakni paradigma holisitik---yang berupaya mengintegrasikan aspek teologis, metafisis, dan positivis.Â
akhir tulisan ini, penulis ingin menegaskan bahwa kematian hukum adat bukan karena tidak lagi relevan sehingga tidak dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat baik tindak pidana maupun bentuk pelanggaran lainnya, melainkan karena semata-mata tidak dapat menjamin keberlangsungan sistem ekonomi kapitalisme.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H