Mohon tunggu...
M. Jundurrahmaan
M. Jundurrahmaan Mohon Tunggu... -

seniman kawakan dari bawah tanah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Antara Anda, Afi dan Investasi Intelektualisme

31 Mei 2017   19:06 Diperbarui: 31 Mei 2017   19:31 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: tribunnews.com

Selama saya menulis ini, banyak celana-dalam yang langsung berlumuran basah karena saya mampu jelas-jelas memahami istilah apriori dan menulis selayaknya seorang filosof tengah eksil dari negara Prancis. Sama seperti ketika Orwell menulis tentang bom atom, di paragraf pertamanya ia mewantikan diri bahwa ada dronepembunuh melayang di sekitar kawasan tinggalnya, pertanda pemerintah merasa orgasmik secara spontan dalam masa menstruasi mereka karena disensi terkenalnya itu.

 Agaknya saya sempat melakukan hal demikian, meski ada suatu alasan transformatif karena perbedaan diantara diri saya dengan Afi—kesusasteraan yang paling saya sukai sebagai perantara pengekspresian pribadi juga penyingkap dunia luar. Ini sempat terjadi tak terlalu lama yang lalu, di bulan Oktober kemarin, ketika saya mengikuti dibawah tuntunan guru untuk sebuah pengumpulan cerpen kelas delapan karena sang guru mengetahui bahwa saya suka menulis. Dengan enggan saya mengikuti keinginannya karena saya tak pernah memikirkan bahwa seni sastra seperti ini sekiranya lumayan apik untuk dijadikan sebagai ajang kompetisi sehingga semuanya menjadi rampung dalam satu hari lebih.

            Namun beberapakali saya diberi alasan kompromi yang memang masuk akal bahwa saya tak pernah menerbitkan apa-apa sebelumnya, hanya sekedar puisi. Kemudian setelah beberapalama para anak murid, atau mungkin dalam jumlah yang mengikuti kompetisi ini, dipanggil sebagai pengumuman cerpen yang akan dimasukkan kedalam buku—nantinya terbit kira-kira di akhir bulan Oktober, dua-tiga hari sebelum ulangtahun saya. Pada acaranya tiba seorang penulis yang ditugaskan untuk mengisi materi serta di awalnya komentar terhadap tiap cerita, bersama salah satunya yang memenangkan penghargaan. 

Saya awalnya sempat disandingkan untuk mendapatkannya meski lalu digaet oleh seorang lain karena masalah topiknya dianggap ‘terlalu dewasa’. Saya ingat apa yang dibicarakan oleh mereka ketika menyebut cerpen saya—mereka menganggapnya ‘penuh dengan diksi yang terlalu tinggi dari usia’ saya. Sang kepala bahasa di sekolah mengangguk-angguk terhadap pendapat sang penulis ini.

            Agaknya apa saya mesti meraih kemenangan di kompetisi itu bukan suatuhal yang ingin saya permasalahkan, namun sekiranya ada duahal yang saling bertimpangan dengan ukuran beban masing-masing berbeda jika disandingkan dengan ‘kiprah’ Afi. Di permukaan, saya memang seharusnya memiliki potensi untuk mendapatkannya karena kesusasteraan hampir secara dominan, menurut saya, 

berperan sebagai hiburan dengan emosi yang terpaut dari susunan katanya, karena ini tak sungkan-sungkan jika kita menganggap bahkan orang-orang dengan diksi terbatas seperti Dickens mampu membuat penulis seperti Conrad terpana dan kemudian terpengaruh oleh karya-karyanya pula. Permasalahan bagaimana seorang penulis muda dapat mengumpulkan pemahaman diksi yang amat mendalam, dengan begini, tak perlu dipikirkan karena tekad mereka untuk melakukannya semata karena memprioritaskan art for art’s sake sebagai hal yang paling pertama.

            Jika dalam masalah Afi, kalian semua melakukan hal yang bodoh sampai saya merasa lumayan tidak enak pula sehingga impresi apa ia ingin lakukan terlihat sebaliknya dari apa yang sebenarnya ia inginkan.

            Argumen saya memang tak didasari secara orisinil karena suatuketika seorang penulis lain, Nuruddin Asyhadie, sempat menulis pendapatnya bahwa karangan terbaru Afi di harian onlineDetik itu buruk, dan ‘tidak layak muat apapun alasannya’, dan ‘redaktur yang memuatnya pasti inkompeten dalam seni penulisan dan pengeditan atau tak tahu tugas seorang redaktur atau paling tidak tak menjalankan tugasnya dengan baik’. Sebenarnya memang benar. Saya beri Anda waktu selama secukupnya saja setelah membaca tulisan ini untuk beralih ke tulisan milik Afi, judulnya takkan saya sebutkan itu.

            Apa ada perbedaan diantara kedua ini? Mungkin memang benar pula bahwa setiap orang itu berbeda dalam pikiran dan jasmani, namun persamaan diantara kedua ini adalah bahwa kami menggunakan intelektualitas sebagai penjalan isi artikel kami masing-masing, semampu kami sendiri tapi dengan tatanan yang diharuskan pula untuk memaparkan sebuah argumen (yang dituju) agar) jelas dalam artikel-artikel non-fiksi kritis. 

Tapi bagi Anda yang membaca perlahan paragraf-paragraf singkatnya dengan hati perlahan terasa tenggelam serta mata yang berlinang karena terharu; jujur sendiri bahwa judul artikel Afi sempat membuat Anda kalau ia akan membicarakan tentang kisah para pezina yang dimaafkan selama Era Emas Islam, walaupun nyatanya perihal tersebut hanya sebagai contoh saja. Poin utama dari artikelnya bahwa sejurusnya agama Islam adalah agama belas kasih. Rambu merah terdapat pula di titik Afi menyebutkan sosok agama lain—Guan Yin, seorang boddhisattva atau sosok tertinggi para biara Buddhis dan Yesus, yang dalam argumennya kedua-duanya menunjukkan belaskasih terhadap orang lain, walaupun ia jelas-jelas ingin membicarakan khususnya mengenai Islam saja.

            Saya pribadi tak mampu memahami sedikitpun apa yang ia ingin sampaikan, kecuali ketika membaca paragraf terakhir yang berbunyi—‘dengan pistol, kita bisa membunuh teroris tapi dengan pemahaman agama yang baik kita bisa membunuh terorisme’. Baik, ia membicarakan tentang terorisme yang tidak berakar dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Pada akhirnya simpul artikel berarus balik ke paragraf pertama, sebuah bagian amat penting untuk pertama-tama menyampaikan secara ringkas pemaparan argumen, yang ia juga lakukan sebenarnya, dengan mengatakan bahwa ‘banyak yang meragukan Islam sebagai ideologi kelembutan, terutamanya ketika Indonesia dan dunia terus dikejutkan oleh serangkaian insiden berdarah yang mengatasnamakan agama ini’.

 Ini rambu terbaru, berikut dengan rambu lainnya dimana ia sempat memaparkan sebuah paragraf berdoktrin liberal bahwa dengan kisah-kisah yang ia jejerkan berupa ‘Islam postsharia,Islam yang tidak memperdebatkan mengenai hal-hal legalistik hingga ke tataran lain seperti batas aurat ataupun jumlah rakaat’.

Padahal syariat, atau terjemahan dari kata ‘sharia’, adalah bentuk-bentuk hukum yang perlu dilaksanakan oleh tiap orang Muslim, segalahal penting yang membentuk Islam sebagai sebuah agama serta Al-Qur’an dan Hadits-nya. Padahal ideologi tidak sama dengan agama. Ideologi hanyalah kepercayaan yang berdasari teori seorang filosof terkemuka dalam bidang sosiopolitik maupun ekonomis, agama adalah kepercayaan yang apriori(sejak lahir) telah ada dan hakiki secara metafisik dan tak dapat dibantah menurut para filosof-filosof penting Islam.

            Nuruddin tak berhenti disitu saja dalam menelusuri tulisan Afi. Ia kemudian mengungkap, di tengah-tengah diskursus-amat-rusuh dengan para penyuka Afi, bahwa ia mendapatkan laporan bahwa karyanya ini berupa plagiat dari sebuah tulisan yang sama oleh seorang Mita Handayani, tertera pada akhir bulan Juni tahun lalu, dengan isi yang sama pula

. Ada yang bilang bahwa karangan paling ter-viral-nya, ‘Warisan’ berupa plagiat pula dari orang yang sama, namun saya belum terlalu memastikan. Ia menekankan poinnya bahwa ‘yang tidak jenius diangkat, dan yang jenius dilupakan’ sehingga para penyuka tulisan Afi merasa dinistai, namun dengan kesabaran lebih tinggi agar Pasal Pencemaran Nama Baik tidak dilemparkan kepadanya. Sejujurnya saya setuju bahwa temuan ini asli, namun yang saya ingin sampaikan bukanlah mengenai hal apakah tulisannya itu benar atau salah.

            Pertanyaannya adalah; (1). Apakah ia patut menjadi sosok seorang penulis muda? (2). Apakah ia patut untuk lanjut menulis?—Taruhlah kedua hal itu jikalau semua statusnya itu orisinil dan tidak plagiat, namun keduanya tak pernah dipikirkan dengan mempertanyai tiap tulisannya tersebut dalam bentuk sebuah diskusi seperti selayaknya yang dilakukan oleh Nuruddin agar ia dapat menekankan lebih mendalam poin-poin tiap tulisannya agar ia mampu, menurut omongan banyak orang pula mengenai Afi, tumbuh menjadi ‘pemaju bangsa berpotensial’. 

Sehingga dengan demikian impresi apa yang ia ingin lakukan, yang menurut saya pribadi bertujuan baik, terlihat hanya semata seperti sebuah kiprahan seleb yang ingin terlihat bijak dan karena itupula Afi terinfusi secara tidak langsung oleh hal demikian tanpa adanya pembicaraan untuk meningkatkan faedah tiap tulisan ia buat, dalam beberapa kasus tertentu di status-statusnya, ia dengan galak melibasbalik orang-orang yang mengkritiknya tanpa menyampaikan counterpointyang sekonstruktif tulisannya sendiri. Ini bukan tindakan melibas hatersbagi seorang intelektual seperti dirinya; jenis-jenis mereka melakukannya dengan menggunakan kepintaran mereka sendiri seperti, contohnya, Dalai Lama.

Saya pribadi tak mampu menjawab kedua pertanyaan tersebut walaupun saya menganggap tiap tulisannya sebagai pendermaan kebajikan (mengecualikan betapa umumnya pemikiran tulisannya sendiri) yang memang melampaui umurnya namun ini tak dapat saya empasiskan dengan bersemangat karena simpangsiurnya keaslian tiap tulisannya. 

Karena apa yang Anda tulis harus dipertanggungjawabkan oleh diri Anda sendiri kalau berhubungan dengan sastra karena menyimpulkan apa yang Anda rasakan didalam batin. Terutamanya yang terbaru ini, seyogyanya agak melenceng dari doktrinitas seorang Muslimah yang mengenakan sebuah jilbab. Baik, mungkin ia populer karena tulisannya, sayangnya saya tidak peduli, karena seorang filosof atau pemikir terkemuka pula juga populer namun banyak orang mempelajari teori mereka untuk membentuk sebuah school of thought.

Jika Anda memandang dirinya sebagai salah satunya dan, golongan orang-orang bijak, dan juga bahwa tulisannya itu orisinil (apapun alasannya), maka ikut dermakan pemikirannya sebagai pengembangan SOT Islamisme pula, terutamanya kalau Anda seorang Muslim. Jangan hanya sekedar memuji, karena dengan demikian Anda melakukan investasi intelektualisme pribadi semata, mirip seperti keluarga-keluarga kapitalis di Amerika sana.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun