Ini rambu terbaru, berikut dengan rambu lainnya dimana ia sempat memaparkan sebuah paragraf berdoktrin liberal bahwa dengan kisah-kisah yang ia jejerkan berupa ‘Islam postsharia,Islam yang tidak memperdebatkan mengenai hal-hal legalistik hingga ke tataran lain seperti batas aurat ataupun jumlah rakaat’.
Padahal syariat, atau terjemahan dari kata ‘sharia’, adalah bentuk-bentuk hukum yang perlu dilaksanakan oleh tiap orang Muslim, segalahal penting yang membentuk Islam sebagai sebuah agama serta Al-Qur’an dan Hadits-nya. Padahal ideologi tidak sama dengan agama. Ideologi hanyalah kepercayaan yang berdasari teori seorang filosof terkemuka dalam bidang sosiopolitik maupun ekonomis, agama adalah kepercayaan yang apriori(sejak lahir) telah ada dan hakiki secara metafisik dan tak dapat dibantah menurut para filosof-filosof penting Islam.
      Nuruddin tak berhenti disitu saja dalam menelusuri tulisan Afi. Ia kemudian mengungkap, di tengah-tengah diskursus-amat-rusuh dengan para penyuka Afi, bahwa ia mendapatkan laporan bahwa karyanya ini berupa plagiat dari sebuah tulisan yang sama oleh seorang Mita Handayani, tertera pada akhir bulan Juni tahun lalu, dengan isi yang sama pula
. Ada yang bilang bahwa karangan paling ter-viral-nya, ‘Warisan’ berupa plagiat pula dari orang yang sama, namun saya belum terlalu memastikan. Ia menekankan poinnya bahwa ‘yang tidak jenius diangkat, dan yang jenius dilupakan’ sehingga para penyuka tulisan Afi merasa dinistai, namun dengan kesabaran lebih tinggi agar Pasal Pencemaran Nama Baik tidak dilemparkan kepadanya. Sejujurnya saya setuju bahwa temuan ini asli, namun yang saya ingin sampaikan bukanlah mengenai hal apakah tulisannya itu benar atau salah.
      Pertanyaannya adalah; (1). Apakah ia patut menjadi sosok seorang penulis muda? (2). Apakah ia patut untuk lanjut menulis?—Taruhlah kedua hal itu jikalau semua statusnya itu orisinil dan tidak plagiat, namun keduanya tak pernah dipikirkan dengan mempertanyai tiap tulisannya tersebut dalam bentuk sebuah diskusi seperti selayaknya yang dilakukan oleh Nuruddin agar ia dapat menekankan lebih mendalam poin-poin tiap tulisannya agar ia mampu, menurut omongan banyak orang pula mengenai Afi, tumbuh menjadi ‘pemaju bangsa berpotensial’.Â
Sehingga dengan demikian impresi apa yang ia ingin lakukan, yang menurut saya pribadi bertujuan baik, terlihat hanya semata seperti sebuah kiprahan seleb yang ingin terlihat bijak dan karena itupula Afi terinfusi secara tidak langsung oleh hal demikian tanpa adanya pembicaraan untuk meningkatkan faedah tiap tulisan ia buat, dalam beberapa kasus tertentu di status-statusnya, ia dengan galak melibasbalik orang-orang yang mengkritiknya tanpa menyampaikan counterpointyang sekonstruktif tulisannya sendiri. Ini bukan tindakan melibas hatersbagi seorang intelektual seperti dirinya; jenis-jenis mereka melakukannya dengan menggunakan kepintaran mereka sendiri seperti, contohnya, Dalai Lama.
Saya pribadi tak mampu menjawab kedua pertanyaan tersebut walaupun saya menganggap tiap tulisannya sebagai pendermaan kebajikan (mengecualikan betapa umumnya pemikiran tulisannya sendiri) yang memang melampaui umurnya namun ini tak dapat saya empasiskan dengan bersemangat karena simpangsiurnya keaslian tiap tulisannya.Â
Karena apa yang Anda tulis harus dipertanggungjawabkan oleh diri Anda sendiri kalau berhubungan dengan sastra karena menyimpulkan apa yang Anda rasakan didalam batin. Terutamanya yang terbaru ini, seyogyanya agak melenceng dari doktrinitas seorang Muslimah yang mengenakan sebuah jilbab. Baik, mungkin ia populer karena tulisannya, sayangnya saya tidak peduli, karena seorang filosof atau pemikir terkemuka pula juga populer namun banyak orang mempelajari teori mereka untuk membentuk sebuah school of thought.
Jika Anda memandang dirinya sebagai salah satunya dan, golongan orang-orang bijak, dan juga bahwa tulisannya itu orisinil (apapun alasannya), maka ikut dermakan pemikirannya sebagai pengembangan SOT Islamisme pula, terutamanya kalau Anda seorang Muslim. Jangan hanya sekedar memuji, karena dengan demikian Anda melakukan investasi intelektualisme pribadi semata, mirip seperti keluarga-keluarga kapitalis di Amerika sana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI