Mohon tunggu...
Rama Yanti
Rama Yanti Mohon Tunggu... Human Resources - Profesional dan penulis

Perduli terhadap kemanusiaan. Selalu ingin berbuat baik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Prananda Paloh tidak Menggelegar Seperti Surya?

30 Agustus 2022   08:34 Diperbarui: 30 Agustus 2022   08:41 927
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Ramayanti Alfian Rusid S.Psi, MM.Kom

Ada pepatah mengatakan: anak singa pasti mengaum seperti singa juga. Artinya, tidak mungkin anak singa berubah menjadi anak kucing

Seperti kita ketahui, Surya Paloh merupakan sosok agresif, bersemangat, pioner, kompetitif, dan mengaum di podium dengan intonasi yang menggelegar disertai mimik wajah dan gerakan tangan untuk mendukung kata-kata yang diucapkan.

Itu terlepas dari berapa lama ia latihan di depan cermin (bila memang latihan), dan berapa banyak masukan dari orang-orang di sekelilingnya. Setidaknya, itulah gambaran sekilas sang orator.

Sementara sang buah hati, Prananda Paloh suaranya kecil, lembut dan cempreng dengan intonasi yang tidak nyaman di dengar. Hal itu saya perhatikan ketika ia memberikan ucapan selamat hari raya idul Fitri dua tahun lalu yang diunggah di Twitter (kalau tidak salah)

Begitu juga pidato lainnya di YouTube yang berjudul: Pidato Prananda Surya Paloh dalam Apel Siaga Baret Garda Pemuda Partai Nasdem. Saya amati pidato itu dari awal sampai akhir, dengan harapan muncul auman singa podium, seperti halnya sang bapak, tidak ada. Datar-datar aja. Isinya pun normatif.

Penampilannya sudah oke, postur dan brewokannya terlihat jelas bahwa itu merupakan gen Surya Paloh. Namun DNA suaranya dan gaya pidatonya kemana? Tentu ada yang salah atau ada yang tidak 'terwariskan' dari sang ayah.

Banyak perbedaan di antara keduanya, mungkin karena berlainan generasi. Surya terlahir dari generasi babby bommer (1946-1964). Dalam Wikipedia disebutkan: DR. Drs. Surya Dharma Paloh adalah Pengusaha Media dan Pimpinan Media Group yang memiliki Harian Media Indonesia, Lampung Post, dan Stasiun Televisi Metro TV. 

Kelahiran: 16 Juli 1951 (usia 71 tahun), Banda Aceh

Pasangan: Rosita Barack (m. 1984)

Partai: Partai Nasional Demokrat

Anak: Prananda Surya Paloh

Pendidikan: UISU (Universitas Islam Sumatera Utara), lainnya. 

Sementara Prananda Surya Paloh di Wikipedia disebutkan: Kelahiran: 21 September 1988 (usia 33 tahun)

Jabatan saat ini: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Pendidikan: Universitas Monash (2008--2012), ISS International School (2002--2007), lainnya

Dengan fakta itu, keduanya berbeda generasi. Surya generasi babby bommer (kelahiran 1946-1964). Sementara Prananda generasi melenial type Y (kelahiran 1981-1996). Karena berbeda generasi, tentu berbeda pula perjuangannya.

Dalam buku biografinya berjudul Politik Editorial Surya Paloh (buku yang saya temukan di pasar loak kawasan Senen), tergambarkan bagaimana perjuangan Surya hingga bisa menjadi seperti sekarang ini. Seperti Abunawas, banyak akal. Juga punya mental survival di masa mudanya.

Tentu perjuangannya seperti langit dan dasar sumur bila dibandingkan dengan sang putra, Prananda Paloh. Dia lahir sudah lengkap dengan sendok dan garpu. Segalanya sudah tersedia dengan rapih dan siap digunakan.

Dengan segala-galanya yang sudah tersedia dengan lengkap, tentu Prananda tidak memerlukan perjuangan untuk mendapatkan yang dia inginkan. Bahkan mungkin, kursi di DPR pun tidak perlu dia bersusah payah untuk mendapatkannya. Sudah ada 'mesin' yang bekerja.

Maka bisa dipahami, mengapa Prananda tidak semenggelegar Surya Paloh. Tetapi dengan kondisi seperti itu apakah dia kuat menerima beban 'warisan' dari Surya Paloh kelak.

Baik warisan bisnis maupun warisan politik, mengingat di dunia ini banyak sekali pencuri, bahkan mungkin orang-orang di sekitarnya sudah bersiap-siap menjadi pencuri, jika Surya tiba-tiba mengalami musibah, dengan asumsi sang pewaris belum siap.

Agar Prananda siap, sepertinya harus keluar sejenak dari zona nyaman dan menjadi seorang survival. Dan saya sarankan, dia menjadi seorang abang untuk orang-orang di sekitarnya, bukan lagi menjadi seorang kakak, karena konotasi kata kakak atau panggilan kakak bisa menimbulkan bias gender, bisa pria dan bisa wanita. Sedangkan abang, sudah pasti pria.

*Pemerhati sosial politik dan psikologi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun