Korupsi bukan hanya tindakan individu, melainkan sering kali melibatkan jaringan sosial yang kompleks. Jaringan ini dapat mencakup pejabat publik, pengusaha, dan bahkan aparat penegak hukum. Dalam teori Sutherland, interaksi sosial adalah faktor penting dalam membentuk perilaku kriminal, termasuk korupsi. Dalam konteks ini, jaringan sosial berfungsi sebagai mekanisme untuk memfasilitasi dan melindungi tindakan koruptif.
Di Indonesia, jaringan korupsi sering kali terbentuk melalui hubungan personal, seperti keluarga, teman, atau rekan kerja. Hubungan ini menciptakan rasa saling percaya di antara anggota jaringan, yang memungkinkan mereka bekerja sama untuk melakukan tindakan korupsi tanpa takut terungkap. Sebagai contoh, dalam banyak kasus korupsi besar, pelaku utama sering kali dibantu oleh "pemain pendukung" yang bertugas untuk menutupi jejak atau memastikan bahwa tindakan mereka tidak terdeteksi oleh otoritas.
Untuk memutus jaringan ini, diperlukan pendekatan yang mencakup penguatan sistem pelaporan anonim, perlindungan saksi, dan penerapan teknologi untuk memantau interaksi yang mencurigakan. Sistem pelaporan anonim, misalnya, memungkinkan individu untuk melaporkan tindakan korupsi tanpa takut akan pembalasan. Selain itu, perlindungan saksi dapat mendorong lebih banyak orang untuk memberikan informasi tentang jaringan korupsi yang mereka ketahui.
Edukasi publik juga memiliki peran penting dalam memutus jaringan korupsi. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi, lebih banyak individu dapat terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi. Kampanye antikorupsi yang efektif dapat membantu masyarakat mengenali tanda-tanda korupsi di lingkungan mereka dan melaporkannya kepada otoritas yang berwenang.
Di Indonesia, upaya pemberantasan korupsi telah menunjukkan beberapa kemajuan, seperti penerapan teknologi digital dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi. Namun, tantangan besar masih ada, termasuk campur tangan politik, resistensi terhadap perubahan, dan lemahnya sistem pengawasan.
Dengan komitmen jangka panjang dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, Indonesia dapat menciptakan sistem yang lebih transparan, adil, dan berintegritas. Upaya ini tidak hanya penting untuk mencegah kerugian negara tetapi juga untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
https://www.britannica.com/topic/white-collar-crime/Cost-to-society
Sutherland, E. H. (1949). White Collar Crime.
Sutherland, E. H. (1939). "The White Collar Criminal"
Rahardjo, S. (2012). Hukum dan Perilaku: Kajian Sosiologi Hukum.
Rahman, A dan Ira Wahyu Ningsih. SEJARAH DAN BENTUK WHITE COLLAR CRIME