Mohon tunggu...
43223110060 Rama Raydinata
43223110060 Rama Raydinata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Sarjana 1 Akuntansi - NIM 43223110060 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercubuana - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen: Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Diskurus Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

23 November 2024   12:18 Diperbarui: 23 November 2024   12:18 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengapa pendekatan Sutherland dianggap penting untuk memahami akar penyebab korupsi di Indonesia?

Pendekatan Edwin Sutherland dianggap penting untuk memahami akar penyebab korupsi di Indonesia karena ia menyediakan kerangka teoretis yang memungkinkan kita melihat korupsi sebagai fenomena sosial yang kompleks, bukan sekadar tindakan individu. Dibawah ini beberapa alasan mengapa pendekatan ini relevan

1. Penekanan pada Perilaku yang Dipelajari

Sutherland menggunakan teori asosiasi diferensial untuk mengatakan bahwa interaksi sosial dapat digunakan untuk mempelajari perilaku kriminal, termasuk kejahatan kerah putih. Budaya kerja yang mengizinkan korupsi adalah penyebab banyak kasus korupsi di Indonesia. Pejabat baru sering "belajar" korupsi dari tempat kerja mereka, di mana praktik seperti suap, gratifikasi, atau penggelapan dianggap normal. Teori ini berguna dalam menjelaskan bagaimana korupsi menjadi praktik sistemik di berbagai lembaga.

2. Fokus pada Pelaku Korupsi Berstatus Tinggi

Korupsi di Indonesia sering melibatkan politisi, pejabat tinggi, atau pelaku ekonomi yang memiliki status sosial dan kekuatan yang signifikan. Pendekatan Sutherland menunjukkan bagaimana orang-orang berkuasa memanfaatkan posisi mereka untuk melakukan kejahatan tanpa kekerasan seperti suap, penggelapan dan manipulasi anggaran. Ini meningkatkan pemahaman bahwa korupsi bukan hanya masalah individu yang memiliki "moral buruk"; itu juga terkait dengan akses ke kekuasaan dan kesempatan untuk menyalahgunakannya.

3. Pendekatan Sutherland untuk Normalisasi dan Legitimasi Tindakan Kriminal menunjukkan bahwa pelaku kejahatan kerah putih seringkali tidak merasa bersalah atas tindakan mereka. Banyak pelaku korupsi di Indonesia menganggap tindakan mereka sebagai bagian dari "tradisi" atau "mekanisme kerja" yang umum. Metode ini membantu kita memahami bagaimana korupsi di Indonesia seringkali dinormalisasi oleh budaya gratifikasi, nepotisme, dan patronase, yang membuatnya sulit untuk dihilangkan.

Bagaimana teori Edwin Sutherland dapat diterapkan dalam menganalisis kasus-kasus korupsi di Indonesia?

A. Memahami Konteks dan Motivasi di Balik Perilaku Kriminal

Setiap tindakan kriminal, termasuk korupsi, tidak terjadi secara spontan tetapi merupakan hasil dari proses yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Dalam teori asosiasi diferensial Sutherland, perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi di balik korupsi sering kali berasal dari nilai, norma, atau kebiasaan yang berlaku di lingkungan sosial pelaku. Di Indonesia, banyak pelaku korupsi memiliki motivasi untuk mempertahankan gaya hidup mewah, memperluas jaringan kekuasaan, atau memenuhi tekanan sosial di lingkungan mereka. Contohnya, pejabat publik yang merasa perlu untuk menunjukkan kesuksesan melalui kepemilikan properti mewah atau kendaraan mahal sering kali terjebak dalam korupsi karena merasa tekanan sosial untuk tampil sesuai status mereka. Motivasi ini juga sering diperkuat oleh budaya kerja di lingkungan tertentu. Selain itu, budaya kerja di lingkungan tertentu juga memperkuat praktik korupsi. Dalam beberapa organisasi, manipulasi anggaran atau penerimaan gratifikasi dianggap sebagai "tradisi tidak resmi" yang harus diikuti untuk diterima dalam kelompok kerja. Sebagai contoh, pejabat baru di pemerintahan sering kali merasa tertekan untuk mengikuti praktik-praktik ini agar dianggap sebagai bagian dari sistem. Tekanan semacam ini menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus.

Pemahaman tentang motivasi di balik korupsi menunjukkan bahwa upaya pemberantasan tidak cukup hanya fokus pada hukuman, tetapi juga harus mengatasi akar penyebabnya. Reformasi budaya kerja, pemberian insentif bagi perilaku integritas, dan kampanye publik yang mendorong nilai-nilai antikorupsi adalah langkah penting untuk mengubah cara pandang individu terhadap korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun