Mohon tunggu...
R.Amanda Shafira Cahyaningtyas
R.Amanda Shafira Cahyaningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

sleep

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etika Profesi dalam Pengungkapan Kasus Kekerasan Seksual

28 November 2024   16:15 Diperbarui: 28 November 2024   16:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kekerasan seksual merupakan salah satu isu serius yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk psikologis, sosial, dan hukum. Dalam konteks pengungkapan kasus kekerasan seksual, para profesional---baik itu jurnalis, pekerja sosial, psikolog, dokter, maupun aparat penegak hukum---berperan penting dalam memastikan bahwa korban mendapat keadilan, perlindungan, dan pemulihan yang layak. Namun, dalam menjalankan tugas tersebut, ada tanggung jawab etis yang harus dipatuhi. Etika profesi menjadi landasan untuk menjaga integritas, martabat korban, dan kredibilitas profesi.

Pengertian Etika Profesi

Etika profesi adalah seperangkat prinsip moral yang menjadi panduan bagi seseorang dalam menjalankan tugas profesionalnya. Prinsip ini mencakup nilai-nilai seperti integritas, kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak individu. Dalam konteks pengungkapan kekerasan seksual, etika profesi memastikan bahwa tindakan yang diambil oleh para profesional tidak menimbulkan dampak negatif bagi korban maupun masyarakat luas. 

Prinsip Etika Profesi dalam Pengungkapan Kekerasan Seksual
-Kerahasiaan
Salah satu prinsip utama dalam menangani kasus kekerasan seksual adalah menjaga kerahasiaan identitas korban. Korban kekerasan seksual sering kali menghadapi stigma sosial, sehingga pengungkapan identitas mereka secara sembarangan dapat memperburuk trauma yang mereka alami.
Misalnya, jurnalis yang melaporkan kasus kekerasan seksual harus berhati-hati untuk tidak menyebutkan nama korban, alamat, atau informasi lain yang dapat mengidentifikasi mereka. Demikian pula, pekerja sosial dan psikolog harus mematuhi kode etik profesi yang melarang penyebaran informasi korban tanpa izin.

-Empati dan Sensitivitas
Korban kekerasan seksual sering kali merasa rentan dan malu. Oleh karena itu, para profesional harus mendekati kasus ini dengan empati dan sensitivitas. Dalam wawancara atau pengumpulan data, pertanyaan yang diajukan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak menimbulkan rasa tertekan atau memperparah trauma.


-Persetujuan (Consent)
Dalam setiap langkah pengungkapan atau penanganan kasus kekerasan seksual, persetujuan korban harus selalu menjadi prioritas. Sebelum memberikan pernyataan kepada media, menjalani pemeriksaan medis, atau memberikan informasi kepada pihak ketiga, korban harus diberikan penjelasan yang jelas dan diberi kebebasan untuk menyetujui atau menolak.
Dalam hal ini, prinsip otonomi individu sangat penting. Profesional harus menghormati hak korban untuk memutuskan bagaimana mereka ingin kasusnya ditangani, termasuk apakah mereka ingin identitasnya dirahasiakan atau dipublikasikan.

-Keadilan dan Non-diskriminasi
Setiap korban kekerasan seksual harus diperlakukan secara adil tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, usia, agama, ras, atau status sosial. Prinsip ini penting untuk memastikan bahwa semua korban mendapatkan akses yang setara terhadap keadilan dan pemulihan.
Profesional, termasuk aparat penegak hukum, harus menghindari prasangka yang dapat memengaruhi proses penyelidikan. Misalnya, menganggap bahwa korban dari latar belakang tertentu lebih rentan untuk berbohong adalah pelanggaran terhadap prinsip keadilan.

-Penghindaran Reviktimisasi
Reviktimisasi adalah situasi di mana korban kembali mengalami trauma akibat proses penanganan kasus, baik melalui pertanyaan yang menyakitkan, perlakuan tidak manusiawi, atau eksposur media yang tidak etis. Profesional harus memastikan bahwa tindakan mereka tidak memperburuk situasi korban.
Sebagai contoh, jurnalis harus menghindari melibatkan korban dalam wawancara yang terlalu intens atau mendramatisasi pengalaman mereka untuk tujuan sensasionalisme. Demikian pula, aparat hukum harus memastikan bahwa korban tidak perlu memberikan kesaksian berulang kali di lingkungan yang tidak mendukung.

Tantangan dalam Menegakkan Etika Profesi


Meskipun prinsip-prinsip di atas penting, penerapannya sering kali menghadapi berbagai tantangan, antara lain:

-Sensasi Media
Dalam beberapa kasus, media lebih fokus pada aspek sensasional daripada memberikan informasi yang mendidik. Hal ini sering kali mengorbankan privasi korban demi meningkatkan rating atau perhatian publik.

-Kurangnya Pelatihan Profesional
Tidak semua profesional, terutama aparat penegak hukum dan jurnalis, memiliki pelatihan khusus dalam menangani kasus kekerasan seksual. Hal ini dapat menyebabkan pelanggaran etika, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

-Ketidakseimbangan Kekuasaan
Dalam beberapa kasus, korban merasa tidak memiliki kekuasaan untuk menolak ketika profesional tidak mematuhi etika. Misalnya, korban mungkin merasa terpaksa memberikan informasi kepada media atau aparat hukum meskipun mereka tidak siap.

-Stigma Sosial
Stigma terhadap korban kekerasan seksual masih kuat di masyarakat. Profesional yang bekerja dalam lingkungan seperti ini sering kali menghadapi tekanan dari opini publik yang bias, sehingga sulit untuk tetap obyektif.

Penerapan Etika Profesi yang Ideal

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan penerapan etika profesi, antara lain:
-Pelatihan dan Pendidikan
Para profesional yang terlibat dalam penanganan kasus kekerasan seksual harus mendapatkan pelatihan khusus tentang etika dan pendekatan yang berbasis trauma (trauma-informed care). Pelatihan ini dapat membantu mereka memahami kebutuhan korban dan bagaimana cara terbaik untuk mendukung mereka.

-Regulasi dan Pengawasan
Institusi terkait harus memiliki kode etik yang jelas dan mekanisme pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa profesional bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip etika. Pelanggaran terhadap kode etik harus dikenakan sanksi yang tegas.

-Kolaborasi Multisektoral
Penanganan kekerasan seksual memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, media, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga penegak hukum. Kolaborasi ini harus didasarkan pada komitmen bersama untuk melindungi hak-hak korban dan mematuhi standar etika.

-Peningkatan Kesadaran Publik
Selain melatih para profesional, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melindungi korban kekerasan seksual juga penting. Dengan dukungan publik, stigma terhadap korban dapat dikurangi, sehingga pengungkapan kasus dapat dilakukan dengan lebih etis dan manusiawi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun