MUSIK SEJATINYA MERUPAKAN SALAH SATU BENTUK SENI yang memiliki banyak penggemar, dan jiwa yang dimunculkan di dalamnya tidak pernah lekang dimakan waktu. Sebut saja musik dan lagu-lagu dari Elvis Presley, The Beatles, bahkan hingga Koes Plus masih saja didengar oleh berbagai macam kalangan masyarakat, di mancanegara dan pula di Indonesia.
Bandung memiliki salah seorang musisi bernama Panji Sakti. Nama aslinya adalah Panji Siswanto bin Suparlan bin Sastro, seorang penulis lirik dan lagu kelahiran Bandung, 13 Januari 1976. Selain menulis lagu, Panji acap kali memusikalisasikan puisi kawan-kawan atau penyair-penyair lain. Hingga kini, beliau masih berkutat dengan “jiwanya yang sekuntum bunga kamboja”, dunia musik itu sendiri.
“Kepada Noor”, merupakan sebuah puisi milik Moch. Syarip Hidayat yang dimusikalisasikan oleh Panji Sakti pada tahun 2003. Musikalisasi puisi tersebut berasal dari salah satu puisi Syarip yang berjudul “Kepada Noor 3”. Sebelumnya, puisi yang ditulis Syarip tersebut terdiri dari tiga bagian: “Kepada Noor 1”, “Kepada Noor 2”, dan “Kepada Noor 3”. Anehnya –dan entah kenapa, musikalisasi berjudul “Kepada Noor” tersebut pada tahun 2023 ini lantas viral di berbagai platform sosial media seperti Tik Tok dan Instagram. Isi konten yang memakai musikalisasi puisi tersebut berbagai macam, dengan didominasi konten-konten ‘galau’ dan sedih, meskipun beberapa di antaranya konten perjalanan dan pemandangan alam.
Lantas, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa musik tidak lekang dimakan zaman. Musikalisasi puisi (baca: lagu) “Kepada Noor” ini diciptakan pada tahun 2003. Lingkungan jurusan saya di kampus memang mengenal Panji sebagai salah satu pegiat seni dengan lagu-lagu dan musikalisasi-musikalisasi puisi buatannya, bahkan beliau pernah diundang ke acara Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia (GBSI) yang dibuat oleh himpunan jurusan saya di tahun 2017 dan 2019. Memang, musikalisasi puisi “Kepada Noor” ini menjadi salah satu lagu yang membuat beberapa di antara kami terpikat.
Sebelumnya, saya pikir bahwa Panji Sakti merupakan seorang musisi yang segmented dan hanya di kalangan kami saja (baca: pegiat sastra) yang mengenal beliau sebagai salah satu pegiat seni dan sastra dengan karya-karya musikalisasi dan lagunya yang ‘sastrawi’. Namun, entah mengapa setelah dua dekade berselang setelah dibuatnya musikalisasi puisi tersebut, karya buatannya itu viral di tahun 2023. Bahkan, pendengar lagu tersebut di platform musik Spotify Panji Sakti dengan albumnya yang bertajuk “Tanpa Aku” yang dirilis tahun 2022 telah mencapai 2 juta lebih pendengar dan memiliki pendengar bulanan sebanyak 800 ribu lebih. Berikut saya tuliskan lirik musikalisasi puisi “Kepada Noor”.
“Seperti burung yang sedang membuat sarang
dari rumput dan ilalang
Kususuri setiap keindahan di wajahmu,
kusematkan ...
Rindu adalah perjalanan mengurai waktu,
menjelma pertemuan demi pertemuan.
Catatannya tertulis di langit malam,
di telaga, dan di ujung daun itu
Rindu mengekal menyebut namamu berulang-ulang”
Sempat beberapa kali saya dengar dari beberapa senior di kampus kalau puisi ciptaan Moch. Syarip Hidayat tersebut adalah sebuah puisi yang “belum selesai”. Dalam artian, mungkin saja puisi tersebut belum diselesaikan secara matang, dan kebetulan memang tidak diselesaikan. Meskipun kenyataannya benar begitu –semoga saja salah, tapi Panji Sakti membawakannya dengan sangat matang dan menutup kekurangan dari puisi tersebut.
Roland Barthes, salah satu pengemuka semiotika yang meneruskan pemikiran dan pandangan dari Ferdinand de Saussure. Berdasarkan semiotika yang dikembangkan Saussure, Barthes mengembangkan dua sistem penanda bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan sistem konotasi. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Dalam hal puisi ini, pastilah terdapat berbagai macam tanda yang hadir di dalam penulisannya.
Larik di bait pertama bertuliskan //Seperti burung yang sedang membuat sarang/dari rumput dan ilalang/Kususuri setiap keindahan di wajahmu,kusematkan .../.
Makna denotasi pada bait pertama puisi tersebut adalah seperti burung yang membuat sarang dari barang-barang yang banyak di alam liar, aku lirik menyusuri keindahn di wajah kamu lirik dan menyematkan sesuatu di dalamnya. Sedangkan makna konotasi dari bait puisi tersebut adalah semisal burung yang membuat sarang dengan rumput dan ilalang atau bahan-bahan di alam liar yang biasanya tidak terpakai, aku lirik ingin membuat sarang juga dengan mencari bahan-bahan tersebut di wajah pujaan hatinya.
Bagi aku lirik, wajah pujaan hatinya adalah sarang bagi aku lirik, yang berarti tempat pulang, berteduh, dan beristirahat. Bait tersebut mengisyaratkan hal romantis yang mana aku lirik ingin menjadikan wajah pujaan hatinya sebagai tempat pulang atau rumah.
Pada bait kedua musikalisasi puisi tersebut bertuliskan /Rindu adalah perjalanan mengurai waktu/menjelma pertemuan demi pertemuan/Catatannya tertulis di langit malam/di telaga, dan di ujung daun itu/.
Makna denotasi pada bait kedua diartikan sebagai rindu merupakan sebuah perjalanan yang menembus waktu dan berisikan pertemuan demi pertemuan. Pertemuan-pertemuan tersebut bisa saja berada di bawah langit malam, di telaga, dan taman berisikan banyak dedaunan.
Kemudian makna konotasi dari larik tersebut berupa rindu merupakan suatu hal yang tidak pernah usai dimakan waktu. Ibarat perjalanan, di dalam rindu terdapat pertemuan-pertemuan sepasang kekasih, dan mereka tetap selalu rindu. Catatannya tertulis di langit malam, di telaga, dan di ujung daun itu mengisyaratkan bahwa pertemuan-pertemuan tersebut dicatat, dilihat, disaksikan oleh berbagai macam hal seperti langit malam yang melihat pertemuan sepasang kekasih tersebut, telaga yang menyambut pertemuan mereka, dan bahkan hingga ujung daun yang mencatat berapa kali pertemuan sepasang kekasih tersebut.
Langit malam pada larik puisi ini menandakan waktu saat malam hari dan menjadi istilah romantis jika saja malam hari itu cerah, di mana banyak rasi bintang, bulan yang bersinar terang, bahkan bintang jatuh. Telaga merupakan danau di pegunungan, atau sebuah kolam yang biasanya jernih dan aliran yang dibawanya bersih. Maka dari itu, diksi telaga dalam puisi ini menyimbolkan perasaan cinta yang mengalir dan jernih. Ujung daun merupakan tempat bersatunya tulang-tulang daun. Diksi ujung daun mengisyaratkan bersatunya cinta dari hubungan yang terjalin tersebut.
Kemudian pada bait terakhir terdiri dari satu larik, yakni /rindu mengekal menyebut namamu berulang-ulang//.
Makna denotatif yang di dapat dari larik tersebut adalah rindu yang terus-terusan menyebut nama pujaan hatinya. Sedangkan makna konotasi dari larik puisi tersebut adalah rindu yang tidak pernah berhenti menyebut nama kekasihnya, berulang-ulang, terus menerus tiada henti. Diksi rindu berartikan kangen, rasa ingin bertemu sesuatu. Dalam hal ini, rindu yang dimaksud adalah rasa ingin bertemu kepada pasangan. Diksi mengekal diambil dari kata kekal, yang berarti abadi, tidak berubah, dan selamanya.
Kata tersebut menjadi sebuah tanda bahwa yang dilakukan itu akan selamanya dan tidak pernah berubah sedikitpun. Kemudian bagian menyebut namamu berulang-ulang, diartikan sebagai terus menerus menyebut nama pujaan hatinya. Berulang-ulang dimaksudnya sebagai perlakuan atau perbuatan terus-menerus berulang; berkali-kali. Jadi, makna konotasi dari larik rindu mengekal menyebut namamu berulang-ulang dapat disimpulkan sebagai rindu kepada kekasih dengan menyebutkan namanya terus menerus di antara keabadian dan tidak pernah selesai dan diniatkan untuk usai.
Musikalisasi Puisi “Kepada Noor” yang dibuat oleh Panji Sakti dan dituliskan oleh Moch. Syarip Hidayat diinterpretasikan dengan berbagai makna. Dalam versi romantisme, larik musikalisasi puisi tersebut ditujukan sebagai puisi cinta kepada kekasihnya. Menurut versi religius, makna yang terkandung di dalam musikalisasi puisi tersebut adalah rindu dan peribadatan kepada sang pencipta. Jadi, makna yang diambil bisa berbeda-beda tergantung dari sudut mana melihat, membaca, dan mendengar musikalisasi puisi “Kepada Noor” tersebut.
Penulis menafsirkan musikalisasi puisi ini sendiri sebagai sebuah romantisme yang dituliskan oleh Moch. Syarip Hidayat dan dilagukan oleh Panji Sakti dengan sangat matang sehingga efek romantis yang ditimbulkan bagi pembaca terasa memikat. Dari sudut pandang semiotik sehingga menghasilkan hasil makna romantisme tersebut, mungkin saja lagu ini bisa viral karena kemajuan teknologi masa kini dan pengaruh media sosial yang besar sehingga musikalisasi puisi yang dibuat pada tahun 2003 masih dapat disukai berpengaruh masif di tahun 2023.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI