Mohon tunggu...
I GEDE MADE RAMADIARTHA
I GEDE MADE RAMADIARTHA Mohon Tunggu... -

bisnis , ngomong , nulis , mikir dapet uang . tinggi , ganteng , putih , punya otak briliant.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bonus (Bencana) Demografi, Harapan Besar untuk Indonesia

30 Desember 2014   02:42 Diperbarui: 27 Desember 2015   14:42 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 

Tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia sangatlah rendah, pada tahun 2010, berdasarkan data dari BPS, tenaga kerja di Indonesia mayoritas masih berpendidikan SD yaitu sebesar 51,5%, diikuti oleh SMP (18,9%), SMA (14,6%), SMK (7,8%), Diploma (2,7%), dan Universitas (4,6%). Selain itu dari 237 juta penduduk di Indonesia hanya 16 juta yang berkuliah. (Lampiran 2: Perkembangan Komposisi Tenaga Kerja di Indonesia). Hal ini tentu saja sangat disayangkan karena kapabilitas tenaga kerja yang hanya mendasar tersebut tentu saja hanya akan mendapatkan upah yang sangat rendah, sehingga tingkat kesejahteraan juga rendah. Bisa dibayangkan apabila, jumlah tenaga kerja naik seperti yang diramalkan pada saat bonus demografi tahun 2020, apabila kualitas tenaga kerja masih rendah, maka akan terjadi 2 hal: 1. Upah yang semakin rendah labour supply jauh lebih besar dibandingkan  labour demand 2. Pengangguran massal karena tidak memiliki kemampuan untuk masuk ke dalam dunia kerja yang semakin kompetitif. Dengan meningkatnya pengangguran, maka pertumbuhan ekonomi akan terhambat.

 

Pemerintah Indonesia memiliki kebijakan wajib belajar 9 tahun yang membebaskan siswa dari uang sekolah dari tingkat SD hingga SMP, tapi kebijakan ini dinilai kurang relevan karena apabila hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP, maka mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan yang layak karena sekarang lowongan pekerjaan menuntut tenaga kerjanya minimal berpendidikan setingkat SMA. Pendidikan wajib belajar 12 tahun secara gratis dan universal dibutuhkan untuk mempersiapkan generasi muda yang berkualitas dan inovatif dalam menyongsong bonus demografi yang semakin dekat. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya membuat suatu kebijakan untuk mewajibkan siswa bersekolah selama 12 tahun. Kebijakan pemerintah untuk mengalokasikan 20% dari APBN harus dilaksanakan secara efisien untuk menerapkan program ini. Menurut Network For Education Watch Indonesia (NEW Indonesia) atau Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia melalui situs hukumonline.com, besaran anggaran Rp 368,899 triliun pada tahun 2014 dapat menutupi anggaran pendidikan 12 tahun sekitar Rp 284,674 triliun. Apalagi, alokasi dana pendidikan tahun 2015 sekitar Rp 400 triliun yang dinilai lebih dari cukup untuk menerapkan program pendidikan 12 tahun.

 

Dengan meningkatnya SDM melalui pendidikan maka akan mendorong masyarakatnya untuk berinovasi dan mencoba untuk berwirausaha sehingga mampu membuka lapangan pekerjaan dan menambah labour demand atau kesempatan kerja pada saat labour supply meningkat secara drastis karena bonus demografi. Menurut teori Schumpeter, aktor utama yang menyebabkan perkembangan ekonomi adalah proses inovasi dan pelakunya adalah para inovator atau entrepreneur. Dengan inovasi, maka tenaga kerja akan semakin produktif. Tenaga kerja dikatakan lebih produktif bila rasio antara jumlah produk yang dihasilkan dengan pengorbanan (jam kerja) meningkat. Misalnya, untuk menghasilkan 1 meter kain dengan menjahit diperlukan 3 hari, tetapi dengan menggunakan mesin berteknologi tinggi menjahit 1 meter kain hanya diperlukan 3 jam. Sehingga dalam waktu 3 hari, dengan menggunakan mesin bisa menghasilkan 24 meter yang merupakan jumlah yang jauh lebih banyak apabila dibandingkan dengan menjahit yang hanya bisa memproduksi 1 meter/hari. Oleh karena itu, dapat dikatakan produksi menjadi lebih produktif dan efisien.

 

Selain itu, taraf kesehatan juga merupakan salah satu determinan utama dalam kualitas tenaga kerja. Salah satu teori upah-efisiensi menyatakan bahwa tingkat upah mempengaruhi nutrisi dan nutrisi berkorelasi positif terhadap produktivitas tenaga kerja. Apabila tenaga kerja mampu membeli lebih banyak nutrisi, maka pekerja akan menjadi lebih sehat sehingga akan lebih produktif dan mendukung keberhasilan bisnis perusahaan dalam membangun dan membesarkan usahanya. Contohnya, satu orang tenaga kerja yang sehat akan berproduksi lebih banyak dalam sebulan (30 hari), apabila dibandingkan dengan dua orang tenaga kerja yang sering sakit sehingga hanya bisa bekerja selama 10 hari dalam sebulan (total bekerja 20 hari). Selain itu, lihatlah Amerika Serikat yang memiliki sistem free health care dimana penduduk tidak perlu membayar untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, sistem ini berhasil meningkatkan produktivitas tenaga kerja Amerika sehingga menjadi negara superpower hingga saat ini.

 

Bertolak belakang dengan Amerika, taraf kesehatan di Indonesia masih sangat rendah hal ini bisa ditandai dari angka harapan hidup yang rendah (peringkat  ke-108 berdasarkan daftar PBB), angka kematian bayi yang tinggi (32 per 100 ribu kelahiran) dan tingkat nutrisi di masyarakat yang belum memadai. Hal ini disebabkan karena akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan yang masih minim. Pelayanan kesehatan yang masih terbatas karena jumlah pelayanan, distribusi, dan mutu tenaga kerja kesehatan yang masih belum memadai.  Menurut data dari Bank Dunia melalui , 383 kecamatan belum memiliki puskesmas, artinya, sebanyak 6,2 juta jiwa penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sebanyak 852 unit atau 9% dari jumlah seluruh puskesmas di Indonesia ternyata belum memiliki instalasi air. Selain itu, 732 unit puskesmas lainnya tak punya dokter jaga dan ada 10.629 fasilitas kesehatan yang tak dilengkapi listrik.

 

Oleh karena itu, untuk menjalankan fungsi pemerintah sebagai penyedia public good untuk meningkatkan kesejahteraan masyrakat, pemerintah harus meningkatkan jumlah rumah sakit dan puskesmas sehingga mampu menampung kebutuhan masyarakat Indonesia akan layanan kesehatan. Indonesia sebaiknya memberikan subsidi terhadap pelayanan kesehatan sehingga mampu dijangkau oleh semua tingkatan masyarakat. Pemerintah juga sebaiknya turut serta dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat terhadap pentingnya kesehatan dan nutrisi terhadap masyarakat agar pengetahuan mereka tentang kesehatan meningkat.

 

Seperti layaknya pedang bermata dua, bonus demografi bisa menjadi berkah tapi juga bisa menjadi bencana bergantung dari kesiapan Indonesia dalam menghadapinya. Menurut Amartya Sen, peraih nobel ekonomi, pembangunan ekonomi selama ini diorientasikan untuk mencari laba semata tanpa adanya timbal balik antara  manusia dengan alam justru pada akhirnya membuat bencana ekonomi. Bencana tersebut berupa angka ketimpangan yang besar, kemiskinan akut maupun kelaparan yang melanda negara dunia ketiga. Oleh karena itu, dengan adanya bonus demografi, Indonesia harus menerapkan orientasi pembangunan manusia yang dapat dilakukan melalui peningkatan asupan gizi, kualitas kesehatan, terjangkaunya fasilitas pendidikan maupun redistribusi ekonomi yang seimbang merupakan kunci dalam mengoptimalkan potensi penduduk menjadi potensi ekonomi. Maka, diharapkan dengan adanya bonus demografi tidak hanya kuantitas penduduk yang meningkat tetapi kualitas penduduk juga meningkat sehingga Indonesia bisa berkembang dari developing nation menjadi developed nation dan menjadikan bonus demografi sebagai peluang, bukan Bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun